Danantara: Antara Harapan Besar dan Kontribusi yang Masih Malu-Malu

Danantara : Besar di Atas Kertas, Kecil Dalam Realitas 

Avatar photo

Porosmedia.com – Pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa bahwa kontribusi investasi Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara masih “kecil” dan “malu-malu” menyingkap dilema serius dalam arsitektur investasi nasional. Publik berharap lembaga ini menjadi motor penggerak investasi negara, namun kenyataannya justru menampilkan kontribusi yang jauh dari signifikan.

Pada tahun 2026, investasi Danantara diproyeksikan hanya Rp720 triliun atau sekitar 9,66 persen dari total investasi nasional, dengan sedikit peningkatan menjadi Rp980 triliun pada tahun 2029. Secara nominal memang ada pertumbuhan, namun relatif stagnan, hanya bertambah 0,14 persen dalam tiga tahun. Fakta ini menunjukkan bahwa Danantara masih sibuk pada tahap konsolidasi internal ketimbang tampil sebagai pemain strategis di panggung ekonomi nasional.

Masalah utama bukan sekadar soal angka, melainkan kesenjangan antara ekspektasi dan kenyataan. Danantara dibentuk dengan mandat menjadi katalis investasi negara, mengisi ruang yang tidak sepenuhnya bisa ditangani swasta maupun pemerintah. Namun, ketika investasi swasta pada tahun 2026 diperkirakan mencapai Rp6.200 triliun, kontribusi Danantara justru terlihat seperti pelengkap. Hambatan birokrasi, belum terbentuknya “project pipeline” yang agresif, dan keterbatasan daya tarik terhadap investor global masih menjadi batu sandungan utama.

Optimisme pemerintah, seperti keyakinan bahwa Danantara akan tumbuh lebih cepat jika bergerak lebih agresif, sejauh ini masih sebatas retorika tanpa strategi konkret. Pertanyaan mendasar yang muncul di publik adalah bagaimana Danantara mampu mendobrak regulasi yang berbelit, mengefisienkan mekanisme perizinan, sekaligus mengintegrasikan kebijakan fiskal dan dinamika iklim investasi global. Kehadiran regulasi baru, misalnya PP Nomor 28/2025 tentang Perizinan Berbasis Risiko, memang dimaksudkan untuk memperbaiki sistem. Namun, sejauh mana regulasi itu benar-benar memberi ruang bagi Danantara bergerak lebih gesit masih belum jelas.

Baca juga:  Pendaftaran Buat Anggota KPU, Ini Mekanismenya :

Kritik Menteri Keuangan bisa dibaca sebagai pesan ganda: kekecewaan atas kontribusi yang terlalu kecil, sekaligus dorongan politik agar Danantara melakukan akselerasi nyata. Namun tanpa indikator kinerja yang transparan, audit independen, dan keberanian mengeksekusi proyek strategis, kritik itu hanya akan berhenti menjadi wacana. Apalagi di tengah tantangan global, mulai dari fluktuasi suku bunga dunia hingga ketegangan geopolitik, lembaga investasi negara dituntut hadir bukan hanya dengan modal keuangan, tetapi juga kredibilitas tata kelola.

Dibandingkan dengan lembaga serupa di negara tetangga terlihat perbedaan yang jelas. Temasek Holdings di Singapura sejak awal 1974 langsung mengelola portofolio puluhan perusahaan negara dengan mandat komersial yang tegas, sehingga cepat menunjukkan kinerja dan menarik investor global. Khazanah Nasional Malaysia yang berdiri tahun 1993 juga segera memegang aset strategis sekaligus mengembangkan investasi baru di sektor teknologi dan infrastruktur. Keduanya memiliki modal awal yang nyata, tata kelola profesional, dan arah jangka panjang yang jelas.

Sebaliknya, Danantara hingga kini lebih banyak berkutat pada proyeksi, bukan aset riil yang bisa langsung digarap. Tanpa kapitalisasi awal yang besar dan terukur, sulit bagi lembaga ini membuktikan kapasitasnya. Pemerintah dan media memang kerap menyebut Danantara mengelola aset Rp14.000–16.000 triliun. Angka yang bombastis ini sering menimbulkan kesan seolah-olah dana sebesar itu siap diinvestasikan. Padahal jumlah sebesar itu adalah nilai buku gabungan BUMN di bawah payung Danantara, sebagian besar berupa aset operasional, bukan kas likuid. Fitch Ratings bahkan memperkirakan modal aktif yang bisa benar-benar dikelola Danantara pada tahun 2025 hanya sekitar Rp136,6 triliun, jauh di bawah angka “belasan ribu triliun” yang sering digaungkan.

Baca juga:  Nuansa Estetis Klasik saat Temukan Barang Vintage di Grammars Cihapit Bandung

Oleh karena itu, target investasi sebesar Rp720 triliun pada tahun 2026 tidak bisa hanya ditopang angka di atas kertas. Diperlukan mekanisme konkret untuk mengubah nilai buku menjadi modal likuid, misalnya melalui penerbitan obligasi, pinjaman sindikasi, penjualan aset non-inti, alokasi dividen BUMN, atau kemitraan dengan investor swasta. Tanpa langkah-langkah itu, target besar berisiko hanya menjadi mimpi.

Ada tiga langkah mendesak agar Danantara bisa keluar dari fase “malu-malu”. Pertama, pemerintah harus segera mengalihkan paket aset awal yang signifikan untuk memberi pijakan kokoh. Kedua, tata kelola harus diperkuat melalui independensi dewan, manajemen profesional, dan target kinerja yang terukur. Ketiga, Danantara harus diposisikan sebagai katalis, bukan pemain tunggal. Setiap investasinya harus dirancang untuk memicu masuknya modal swasta, entah melalui proyek bersama, obligasi tematik, maupun skema jaminan risiko.

Jika langkah itu dijalankan, Danantara dapat menjelma menjadi motor investasi penting, menciptakan multiplier effect, dan memperkuat posisi Indonesia di mata global. Namun bila dibiarkan berlarut-larut dengan arah yang kabur, label “malu-malu” bukan hanya akan melekat pada Danantara, tetapi juga menjadi simbol peluang yang terbuang bagi perekonomian nasional.

Baca juga:  Prabowo: Indonesia Siap Buka Hubungan Diplomatik dengan Israel, Tapi Ada Syarat Tegas

Jakarta, 25 September 2025
R. Haidar Alwi
Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI)