Co-Payment Wajib 10% di 2026: Bukti Negara Mundur dari Tanggung Jawab Perlindungan Kesehatan

Avatar photo

Porosmedia.com – Mulai 1 Januari 2026, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mewajibkan nasabah asuransi kesehatan membayar minimal 10% dari total klaim atau skema co-payment untuk seluruh produk asuransi berbasis indemnity (ganti rugi) maupun managed care. Aturan ini kontan memicu kontroversi. Meski OJK berdalih bahwa kebijakan ini bertujuan menekan potensi moral hazard, nyatanya kebijakan ini justru memindahkan beban risiko kepada masyarakat yang seharusnya dilindungi.

Dalam konteks perlindungan sosial, keputusan ini bukan hanya soal efisiensi fiskal atau disiplin pasar. Ini adalah indikasi pelepasan tanggung jawab negara dalam menjamin hak atas kesehatan, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Negara, dalam hal ini melalui regulator keuangan, justru memberi ruang makin luas bagi industri asuransi untuk “memaksa” masyarakat ikut menanggung risiko yang seharusnya dikaver penuh oleh mekanisme jaminan.

Skema co-payment dalam dunia asuransi dikenal sebagai mekanisme berbagi beban antara penyedia layanan dan penerima manfaat. Tapi, pada prakteknya, terutama dalam sistem jaminan kesehatan yang belum sepenuhnya inklusif dan setara seperti di Indonesia, co-payment justru memperbesar kesenjangan layanan. Masyarakat miskin atau kelompok rentan akan kesulitan mengakses layanan medis berkualitas karena beban biaya tambahan.

Baca juga:  Noplace Media Sosial Baru yang diminati Gen Z

Peneliti dari Lembaga Demografi UI, dalam kajiannya tahun 2023, menyebut bahwa beban out-of-pocket payment masyarakat Indonesia sudah mencapai 32% dari total pembiayaan kesehatan nasional—jauh di atas rekomendasi WHO yang hanya 15-20%. Artinya, masyarakat Indonesia sudah membayar mahal untuk kesehatannya. Maka penambahan skema wajib bayar 10% untuk asuransi komersial adalah bentuk kejam dari kapitalisasi sektor kesehatan.

Dengan pembatasan klaim hingga maksimal 90%, perusahaan asuransi jelas diuntungkan. Mereka mengurangi risiko kerugian finansial dari klaim besar, dan pada saat bersamaan tetap memungut premi yang sama atau bahkan lebih tinggi dengan dalih biaya kesehatan naik. Dalam istilah lain: risiko turun, untung naik.

Tak hanya itu, kebijakan ini akan mendorong cost shifting—pemindahan tanggung jawab biaya dari perusahaan ke individu. Ini adalah skema neoliberal murni yang menjadikan layanan publik sebagai komoditas, bukan hak. Saat negara diam saja terhadap langkah seperti ini, berarti negara membiarkan pasar mengatur nasib rakyatnya.

OJK sebagai lembaga pengatur keuangan publik, seharusnya berpihak pada nasabah, bukan pada institusi keuangan. Jika regulator justru membiarkan atau bahkan melegitimasi praktik yang memberatkan rakyat, ini menjadi preseden buruk. Sebab, secara politis, keputusan ini bisa dibaca sebagai pembiaran terhadap liberalisasi sektor kesehatan.

Baca juga:  UN Wajib Ditolak, ANBK Wajib Dipermak

Perlu dicatat bahwa kebijakan ini keluar di tengah isu lain yang belum selesai, seperti komersialisasi layanan BPJS, defisit dana jaminan kesehatan, dan lonjakan tarif layanan rumah sakit swasta. Bukannya memperkuat intervensi negara melalui sistem jaminan publik, pemerintah malah mendorong masyarakat ke asuransi swasta dengan aturan yang tak menguntungkan.

Kebijakan OJK per 1 Januari 2026 bukanlah kebijakan teknis semata. Ini adalah keputusan politik yang menyangkut siapa yang menanggung risiko dalam sistem kesehatan kita. Jika negara terus menyerahkan tanggung jawab itu pada individu, maka mimpi tentang sistem kesehatan universal yang adil dan terjangkau akan semakin jauh.

Kebijakan ini harus ditolak. Jika perlu, asosiasi konsumen, LSM hak kesehatan, dan publik luas harus bersuara. Karena ketika negara mulai mundur dari urusan kesehatan warganya, itu bukan hanya soal kebijakan keuangan—itu soal moral dan konstitusi.