Porosmedia.com — Penurunan skor PISA Indonesia dalam bidang matematika, membaca dan sains pada tahun 2022 ke level terendah sepanjang sejarah keikutsertaan telah menimbulkan kekhawatiran nasional meskipun skor ini menempatkan peringkat Indonesia naik namun berada di “kelas siswa bermasalah”. Sekalipun demikian, sebelum Indonesia memakai Indikator Human Capital Index (HCI) yang sangat dipengaruhi hasil PISA di RPJPN 2025-2045, Indonesia sudah berupaya keras agar skornya membaik, namun harapan itu tak kunjung tiba.
PISA terbaru diluncurkan setiap 3 Tahun, sehingga Indonesia berupaya mengukur kemampuan tersebut tahunan dengan memakai berbagai alat ukur seperti Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI), Asesmen Nasional (AN) dan sejumlah alat ukur lain. Ternyata hasil pengukuran AKSI dan AN justru memperkuat skor PISA, hanya 20-50 % siswa Indonesia mampu mencapai kompetensi minimal atau level 2 PISA dari 6 level. Level 2 ini menunjukkan tingkat kemampuan dasar tentang materi pelajaran dan kemampuan untuk menerapkan pengetahuan tersebut dalam tugas-tugas yang sederhana.
Agar dapat mengetahui perubahan kenaikan/penurunan kompetensi minimal tersebut setiap tahun, Kemdikbud Ristekdikti kembali menerbitkan alat ukur yang disebut Asesmen Kompetensi Minimal (AKM) dan selanjutnya disebut Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) yang menghasilkan Rapor Sekolah yang menunjukan tingkat rerata kompetensi minimal murid dalam numerasi (matematika) dan literasi (membaca) dan kondisi karakter murid di sekolah serta interaksi dengan lingkungan luar.
Domain kognisi dan konten ANBK absurd Skor numerasi dan literasi di ANBK dirancang selaras dengan struktur PISA (Kemdikbud, 2020) sehingga diharapkan, skor yang diperoleh dapat dipakai memprediksi skor PISA. Sayang sekali, ANBK ternyata kurang sahih (valid) dan ajeg (reliable) karena selain bertujuan tidak jelas, strukturnya mengoplos struktur PISA dan TIMSS untuk penyusunan konstruk soal AKM numerasi dan dan PISA dan PIRLS untuk penyusunan konstruk soal AKM literasi.
Jika ANBK adalah “PISA-like” maka seharusnya tujuannya adalah mengukur keterampilan murid bernalar atau berpikir analitis tanpa peduli jenis kurikulum. Tetapi, dengan mengoplos PISA dengan TIMSS yang bertujuan berbeda yaitu mengukur tingkat penguasaan murid terhadap
ANBK dalam uji numerasi, mengambil domain kognisi milik TIMSS yaitu memahami, menggunakan dan menalar atau “knowing, applying dan reasoning”.
Sedangkan domain kognisi PISA yaitu merumuskan, menggunakan, menafsir dan mengevaluasi atau “formulate, employ, interpret, evaluate” ditinggalkan
Sementara itu, domain konten yang bermuara kepada bentuk soal yang diujikan, ANBK mengambil dari PISA yaitu soal soal cerita keseharian yang memerlukan pemahaman akan teks dan perumusan masalah serta cara berpikir analitis bukan seperti domain konten TIMSS yang prosedural dan langsung seperti: “berapakah nilai dari penambahan di bawah ini ? 2 + …. = 5”
Pengoplosan domain kognitif TIMSS dan domain konten PISA di ANBK, membuktikan ketidaksahihan (validity) dan ketidakajegan (reliability) dari ANBK. Sehingga, tanpa harus memeriksa cara pengambilan sampel murid yang diuji, proses ujian, perumusan hasil ujian dan penyajian, sudah dapat dikatakan bahwa ANBK tidak “reliabel” dan “valid”.
Jangankan ANBK dengan PISA. Sesama mengukur kompetensi matematika saja antara PISA dengan TIMSS bisa sangat berbeda. Jelas hal ini terjadi karena tujuan keduanya yang berbeda. PISA mengukur “analytical thinking skills” tanpa peduli pemakaian kurikulum dan TIMSS mengukur “content mastery” dari kurikulum yang dipakai.
Di Singapura pernah terjadi kasus skor PISA matematika turun drastis dari Tahun 2011 ke Tahun 2015, namun naik pesat di skor matematika TIMSS di Tahun 2013 ke Tahun 2015. Hal tersebut dapat dipahami, karena kurikulum di Singapura sangat kuat dalam penguasaan konten (mapel).
Sisi gelap PISA
Mengagungkan PISA dengan memasukkan konstruknya dan menggunakan pada ANBK untuk memprediksi hasil PISA serta menggunakannya untuk melihat keberhasilan sistem pendidikan indonesia akan sangat berbahaya karena dapat menimbulkan “false sense of achievement” atau perasaan berhasil yang semu, karena sejatinya tujuan pendidikan indonesia menjadi sangat menyempit. Jika Indonesia terus bersikap demikian, maka kita masuk pada “The Contestation Camp” seperti yang disebutkan Louis Volante (2018) dimana PISA telah menciptakan komunitas yang berkompetisi dalam membuat reformasi pendidikan.
Hal ini dikritik oleh lebih dari 80 akademisi seluruh dunia yang menentang PISA karena dianggap: 1) Mengalihkan fokus negara pada design reformasi pendidikan jangka pendek supaya bisa meningkatkan peringkat PISA dengan cepat padahal banyak penelitian menyatakan bahwa reformasi pendidikan yang berkelanjutan membutuhkan waktu puluhan tahun untuk membuahkan hasil. 2) Mengabaikan tujuan pendidikan secara keseluruhan. 3) PISA lebih menekankan aspek ekonomi pendidikan seperti meningkatkan produktivitas dan daya saing suatu negara daripada mengembangkan aspek sosial dan emosional siswa. 4) Mendorong pembuatan soal-soal ujian yang “ PISA like” lebih pada pilihan ganda dan “vendor made lesson ” dan sedikit otonomi profesional guru dalam menentukan keberhasilan sis.
Ketidakajegan dan ketidaksahihan ANBK akan sangat menyesatkan jika dipakai untuk menjadi alat memprediksi skor PISA. Sehingga klaim kenaikan skor ANBK dari siswa yang sudah melewati kompetensi minimal numerasi sebesar 32 % di Tahun 2021 menjadi 62 % di Tahun 2023 akan dapat menjadi indikasi kenaikan skor PISA matematika Indonesia dari 336 menjadi 402, tidak dapat dipercaya.
ANBK masih dapat dipakai untuk tujuan mengawal skor PISA dan mengetahui kemajuan tahunan murid dan sekolah tanpa harus mengundang kembali Ujian Nasional (UN) tetapi, ANBK wajib dievaluasi dan dipermak total agar menjadi lebih ajeg dan sahih.
Ahmad Rizali
Dewan Pakar di BAJIK (Barisan Pengkaji Kebijakan) Pendidikan-Gernas Tastaka