Cancel Culture: Hati- hati dengan Komunikasi, Pencabutan sosial akan lebih Cepat

Avatar photo

Porosmedia.com – Cancel culture adalah fenomena sosial yang melibatkan pencabutan dukungan sosial, ekonomi, atau politik terhadap individu, organisasi, atau merek karena pernyataan atau tindakan yang dianggap kontroversial atau tidak pantas. Fenomena ini seringkali dimulai di media sosial dan dapat memiliki dampak signifikan pada reputasi dan karir seseorang.

Karakteristik Cancel Culture

1. Pencabutan dukungan: Masyarakat secara kolektif mencabut dukungan terhadap individu atau organisasi.
2. Kontroversi: Pernyataan atau tindakan yang memicu reaksi negatif.
3. Media sosial: Platform seperti Twitter, Instagram, dan Facebook memfasilitasi penyebaran kritik dan pencabutan dukungan.
4. Keadilan sosial: Cancel culture seringkali digunakan untuk memperjuangkan keadilan sosial dan mengkritik ketidakadilan.

Contoh Kasus Cancel Culture

1. Kasus Harvey Weinstein: Pencabutan dukungan terhadap produser film Hollywood karena kasus pelecehan seksual.
2. Kasus Jussie Smollett: Pencabutan dukungan terhadap aktor Amerika karena tuduhan palsu tentang serangan rasial.
3. Kasus Gina Linetti: Pencabutan dukungan terhadap aktris Amerika karena pernyataan kontroversial tentang rasialisme.

4. Gus Miftah: Gus Miftah, yang bernama lengkap Miftah Maulana Habiburrahman, adalah seorang mubalig dan pimpinan Pondok Pesantren Ora Aji di Sleman, Yogyakarta. Ia lahir pada tanggal 5 Agustus 1981 di Adiluhur, Jabung, Lampung Timur. Gus Miftah merupakan keturunan ke-9 Kiai Muhammad Ageng Besari, pendiri Pesantren Tegalsari di Ponorogo.

Baca juga:  Calon Pengantin di Cimahi Akan dapat Pembinaan untuk Hindari Stunting

Gus Miftah menikah dengan Ning Astuti pada tahun 2004 dan memiliki dua orang anak. Ia menempuh pendidikan di Universitas Islam Sultan Agung Semarang dan meraih gelar Sarjana Pendidikan program studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Agama Islam.

Sebagai seorang mubalig, Gus Miftah dikenal karena kegiatan dakwahnya yang unik, yaitu berdakwah ke kaum marjinal, seperti pekerja seks komersial dan penghuni salon plus-plus. Ia juga pernah berdakwah di kelab malam. Gus Miftah mengaku ide awalnya berdakwah ke kaum marjinal ketika ia melaksanakan salat di musala sekitar Pasar Kembang, area lokalisasi di Yogyakarta.

Gus Miftah juga merupakan Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan. Ia merupakan tokoh yang inspiratif dan memiliki peran penting dalam mempromosikan kerukunan beragama dan keharmonisan sosial di Indonesia.

Akibat dalam dakwahnya, ada komunikasi yang terlepas tanpa sengaja seperti candaan dan guyoan terhadap pedagang es teh.

Dampak Cancel Culture

1. Kerusakan reputasi: Pencabutan dukungan dapat merusak reputasi individu atau organisasi.
2. Kehilangan pekerjaan: Individu dapat kehilangan pekerjaan atau kontrak karena pencabutan dukungan.
3. Keterisoliran sosial: Individu dapat mengalami keterisoliran sosial dan emosional.
4. Pengaruh ekonomi: Pencabutan dukungan dapat mempengaruhi ekonomi individu atau organisasi.

Baca juga:  D'Lingga Coffee, Perpaduan Sempurna Antara Kopi Berkualitas dan Keindahan Alam

Kritik terhadap Cancel Culture

1. Kekurangan nuansa: Pencabutan dukungan seringkali tidak mempertimbangkan konteks dan nuansa.
2. Kekurangan kesempatan untuk meminta maaf: Individu tidak diberi kesempatan untuk meminta maaf dan memperbaiki kesalahan.
3. Penggunaan kekuasaan: Cancel culture dapat digunakan sebagai alat untuk memaksakan kekuasaan dan menghancurkan lawan.
4. Pengaruh negatif pada kebebasan berbicara: Pencabutan dukungan dapat membatasi kebebasan berbicara dan ekspresi.

Solusi untuk Mengatasi Dampak Cancel Culture

1. Pendidikan dan kesadaran: Meningkatkan kesadaran tentang dampak cancel culture.
2. Dialog dan komunikasi: Mendorong dialog dan komunikasi untuk memahami perspektif lain.
3. Kesabaran dan refleksi: Memberi kesempatan individu untuk meminta maaf dan memperbaiki kesalahan.
4. Kebijakan yang jelas: Menetapkan kebijakan yang jelas tentang pencabutan dukungan.

Dalam menghadapi cancel culture, penting untuk mempertimbangkan konteks, nuansa, dan dampaknya. Dialog dan komunikasi yang terbuka dapat membantu mengatasi konflik dan mempromosikan keadilan sosial.