Porosmedia.com, Jakarta – Musyawarah Nasional (Munas) XII dan peringatan HUT ke-65 Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) di Jakarta menjadi momentum reflektif sekaligus peringatan keras. Wakil Ketua Umum Partai Golkar dan Ketua Dewan Pembina SOKSI, Bambang Soesatyo (Bamsoet), dalam pidatonya menegaskan: SOKSI harus kembali ke khitah perjuangan. Bukan sekadar nostalgia sejarah, tetapi sebagai kebutuhan strategis agar organisasi ini tetap relevan di tengah pusaran zaman yang bergerak cepat dan tak kompromistis terhadap stagnasi.
“SOKSI harus mandiri, tidak menjadi alat kekuasaan, dan mampu mengawal komitmen politik Golkar untuk mendukung pemerintahan Presiden Prabowo Subianto selama dua periode. Kembali ke khitah adalah penguatan identitas dan penghindaran dari kooptasi politik pragmatis,” kata Bamsoet, Selasa malam (20/5/2025).
Pernyataan itu hadir dalam suasana Munas yang dihadiri para tokoh besar Partai Golkar, termasuk Bahlil Lahadalia, Agung Laksono, Aburizal Bakrie, hingga Ahmadi Noor Supit. Namun, pertanyaannya: apakah kehadiran elit ini cukup untuk menggerakkan organisasi yang selama ini lebih dikenal sebagai sayap tua yang vakum program?
Dalam paparannya, Bamsoet menyinggung tantangan konkret: pengangguran. Data BPS Februari 2025 mencatat 7,28 juta pengangguran terbuka. Pertanyaan krusialnya, apa kontribusi SOKSI selama ini dalam menangani problem struktural ini?
“Pelatihan kerja, program pemberdayaan, serta peran nyata di akar rumput harus menjadi bukti peran SOKSI, bukan sekadar jargon dalam forum elite,” ujarnya.
Di tengah realitas ekonomi yang rapuh, Bamsoet menekankan perlunya SOKSI menggalang solidaritas pekerja lintas sektor, membangun Masyarakat Karya, dan mendukung agenda pembangunan manusia. Tetapi hingga kini, keberadaan SOKSI dalam peta sosial ekonomi nasional masih redup, jauh dari gembar-gembor politik internal Golkar.
Dengan 221 juta pengguna internet di Indonesia (data APJII 2024), Bamsoet menyoroti peluang digital yang belum digarap serius oleh SOKSI. Di tengah ledakan platform daring, SOKSI masih tampak konvensional, tertinggal dalam digitalisasi kaderisasi dan advokasi buruh.
“Organisasi sebesar SOKSI seharusnya mampu menjangkau publik melalui ruang digital. Pelatihan online, forum diskusi virtual, hingga kanal edukasi politik dan ketenagakerjaan seharusnya jadi kewajiban, bukan opsi,” tegas Bamsoet.
Ia juga menekankan pentingnya Munas berlangsung independen, bukan dikendalikan oleh kepentingan sesaat. Hal ini krusial untuk menjaga integritas keputusan organisasi dan memastikan arah perjuangan tetap berpijak pada mandat awal SOKSI sebagai organisasi kader ideologis, bukan alat kekuasaan elit partai semata.
“Ketika Munas menjadi ritual tanpa gagasan baru dan hanya ajang konsolidasi kekuasaan internal, maka SOKSI bukan sedang merayakan ulang tahun, tapi memperingati kemunduran,” ujar Bamsoet lantang.
SOKSI tak bisa hanya hidup dari nama besar sejarah dan tokoh-tokoh senior. Jika gagal menjawab tantangan zaman—dari pengangguran, digitalisasi, hingga krisis kepercayaan publik terhadap ormas politik—maka usia 65 tahun hanyalah angka, bukan prestasi.
Organisasi ini perlu pembaruan mendalam, baik secara struktur, orientasi program, maupun rekonsiliasi peran sosialnya. Tanpa itu, SOKSI hanya akan menjadi fosil politik yang dikenang, tapi tak lagi dirasakan manfaatnya oleh rakyat pekerja yang dulu menjadi basis utamanya.