Porosmedia.com – Dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI seharusnya menjadi penjaga kepentingan daerah sekaligus jembatan aspirasi masyarakat kepada pusat. Namun, realitas di Jawa Barat menunjukkan adanya kesenjangan yang semakin menganga antara mandat konstitusional DPD dan praktik politik para anggotanya.
Nama-nama perwakilan DPD RI dari Jawa Barat memang tercatat secara resmi, tetapi yang perlu dipertanyakan adalah sejauh mana kehadiran mereka benar-benar dirasakan oleh warga Jawa Barat. Kritik muncul bukan kepada figur tertentu, tetapi kepada kinerja kolektif lembaga yang dinilai kurang tampil dalam isu-isu strategis daerah.
Peran Besar, Jejak Kecil
Secara normatif, DPD memiliki tugas penting: menyuarakan persoalan daerah, mengawasi pelaksanaan undang-undang yang bersentuhan dengan daerah, memberi pertimbangan atas RUU terkait otonomi serta memperjuangkan pemerataan pembangunan.
Tetapi publik Jawa Barat sulit menemukan jejak kuat tersebut dalam beberapa tahun terakhir. Suara DPD RI Jabar sering terdengar redundan, sporadis, atau sekadar seremonial, bukan strategis dan mengakar.
Di tengah kompleksitas Jawa Barat—dari persoalan agraria, banjir tahunan, kegagalan tata kelola pasar, infrastruktur desa yang timpang, hingga akuntabilitas anggaran—figur-figur DPD RI Jabar cenderung tidak muncul dalam panggung advokasi yang seharusnya menjadi medan pengabdian mereka.
DPD Jabar hadir secara struktural, tetapi absen secara substansial.
Maka dari itu, layaknya fungsi DPD bukan sekadar menyampaikan laporan, melainkan menekan, mengawal, dan memaksa pemerintah pusat agar kebijakan nasional tidak mengabaikan kebutuhan daerah. Namun justru di titik inilah masyarakat melihat kelemahan paling mendasar.
Ketika persoalan-persoalan strategis muncul, seperti: mandeknya pembangunan infrastruktur prioritas, distribusi anggaran pusat yang timpang, konflik agraria di wilayah-wilayah pinggiran atau lemahnya perlindungan terhadap pasar tradisional dan UMKM,
nama DPD Jabar tidak berada di garis terdepan. Padahal, wadah advokasi langsung ke pusat ini merupakan alat yang sangat kuat — jika digunakan dengan visi yang benar.
Banyak kalangan pengamat menganggap bahwa DPD RI, termasuk perwakilan dari Jawa Barat, selama ini terjebak pada status sebagai lembaga “setengah kuat, setengah lemah”. Namun kritik sebenarnya lebih tajam: kelemahan itu bukan hanya karena batasan konstitusi, tetapi juga karena kurangnya keberanian politik dari para anggotanya sendiri.
Bukan rahasia bahwa sebagian senator justru lebih sibuk membangun branding pribadi ketimbang memperjuangkan isu daerah:
Jangan sampai senator beraktivitas di publik lebih banyak berupa ceremonial, hadir di forum-forum sosial tanpa substansi advokasi kuat dan melakukan komunikasi politik yang tidak berdampak signifikan pada kebijakan.
DPD akhirnya terperangkap dalam situasi ironis: punya legitimasi rakyat, tapi tidak memproduksi tekanan politik yang berarti.
Konsekuensinya: Jawa Barat jangan kehilangan “Suara Utama” di Tingkat Nasional. Untuk itu DPD seharusnya menjadi organ yang: menekan pusat ketika regulasi merugikan daerah, memaksa kementerian memperbaiki tata kelola dan memastikan alokasi anggaran pusat benar-benar proporsional.
Tetapi ketika peran tersebut tidak dijalankan: isu-isu Jawa Barat menjadi minor di pusat, problem struktural berulang tanpa solusi dan masyarakat kehilangan representasi yang efektif.
Di sinilah kritik paling tajam harus diarahkan: DPD Jabar memiliki posisi strategis, tetapi tidak menggunakan kekuatan itu untuk kepentingan rakyat Jawa Barat.
Apa yang Diharapkan Warga Jawa Barat dari Para Senatornya? Publik tidak menuntut hal muluk-muluk. Mereka hanya ingin: 1. Advokasi nyata, bukan kunjungan formal. 2. Keberanian mengambil sikap, terutama dalam isu agraria, pembangunan, dan perlindungan pedagang kecil. 3. Keterlibatan intens dalam penyusunan kebijakan, bukan sekadar menghadiri rapat. 4. Transparansi kinerja, agar publik tahu apa saja yang diperjuangkan di Senayan.
DPD Jabar harus berhenti menjadi lembaga yang ada tapi tidak terasa.
Representasi bukan sekadar kursi di Senayan, tetapi keberanian bersuara untuk mereka yang di daerah tak punya akses ke pusat kekuasaan.
Opini ini bukan ditujukan untuk menyerang personal mana pun. Semua kritik diarahkan kepada performa lembaga, bukan figur, sehingga aman secara hukum dan berbasis kepentingan publik.
Jawa Barat adalah provinsi dengan jumlah penduduk terbesar dan dinamika sosial-ekonomi paling kompleks di Indonesia. Maka representasi Jawa Barat di DPD RI seharusnya berada di garda depan dalam setiap isu strategis nasional.
Jika DPD RI Jawa Barat tidak mengubah cara kerja, maka publik akan semakin menilai bahwa lembaga ini hanya formalitas politik, bukan saluran perjuangan daerah.
Dan itu adalah kerugian besar—bukan hanya bagi lembaga, tetapi bagi seluruh warga Jawa Barat.
Su | Porosmedia.com
Foto : ilustrasi gemini







