Porosmedia.com, Kendal — Ratusan petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Kawulo Alit Mandiri (KTKAM) dari Dukuh Dayunan, Desa Pesaren, Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Kendal, mendatangi Pengadilan Negeri Kendal, Rabu (2/7/2025). Aksi tersebut dilakukan sebagai bentuk protes terhadap rencana eksekusi lahan seluas lebih dari 16 hektare yang selama ini mereka garap dan klaim sebagai tanah warisan leluhur.
Aksi ini menyusul surat yang diterima Kepala Desa Pesaren dari PN Kendal tertanggal 18 Juni 2025, berisi undangan rapat koordinasi pelaksanaan constatering atau pencocokan obyek eksekusi yang dijadwalkan berlangsung pada 30 Juli 2025. Petani menilai proses itu sebagai bagian dari upaya PT Soekarli Nawa Putra Plus untuk kembali menguasai tanah yang secara administratif masih tercatat atas nama 13 warga Dayunan.
Akar Konflik dan Perlawanan Petani
Konflik agraria ini telah berlangsung sejak tahun 1970. Saat itu, tanah yang telah digarap warga sejak era 1950-an diminta oleh pemerintah desa dengan dalih akan dikembalikan kepada negara. Namun dalam praktiknya, lahan justru ditanami cengkeh oleh pihak swasta, PT Soekarli, yang hingga kini tidak pernah memiliki Hak Guna Usaha (HGU) atas lahan tersebut.
Pada tahun 2014, setelah menemukan dokumen sertifikat atas nama warga yang masih tercatat aktif di Kantor Pertanahan Kendal, warga melakukan reclaiming lahan dan mengelolanya kembali. Upaya tersebut berujung pada gugatan perdata oleh pihak PT Soekarli di PN Kendal, namun gugatan itu ditolak karena penggugat tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing). Namun, pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi Semarang justru mengabulkan gugatan perusahaan.
Saat ini, perkara masih berproses di Mahkamah Agung RI melalui jalur kasasi.
Kepala Desa Akui Sertifikat Masih atas Nama Warga
Kepala Desa Pesaren Ngahadi dalam wawancaranya menyatakan bahwa berdasarkan catatan desa, sertifikat lahan masih atas nama 13 warga Dayunan. Terkait adanya proses pelepasan hak atau ganti rugi, ia mengaku tidak memiliki informasi yang cukup karena kejadian sudah berlangsung lama. “Menurut cerita warga, sih belum ada pelepasan,” ujarnya.
Ia juga menyampaikan bahwa tanah tersebut menjadi satu-satunya sumber kehidupan bagi warga. “Warga berjuang sampai titik darah penghabisan. Bahkan, saya mendengar ada yang siap dibunuh atau membunuh jika lahan dirampas kembali,” katanya.
Terkait rencana constatering, pemerintah desa menyatakan tidak akan kembali mengajukan permohonan penundaan eksekusi karena dua permohonan serupa pada 2018 tidak mendapat tanggapan dari pihak pengadilan.
Warga Tuntut Pengadilan Tolak Eksekusi
Dalam siaran pers yang dibacakan saat aksi, warga menegaskan dua tuntutan utama:
- Meminta PN Kendal menetapkan bahwa putusan eksekusi tidak dapat dilaksanakan (non-executable).
- Mendesak keluarga Soekarli menghentikan seluruh upaya perampasan tanah.
“Kami tidak meminta apa-apa dari negara. Kami hanya ingin tanah kami tidak diganggu. Merampas tanah kami sama saja membunuh kami pelan-pelan,” ujar salah satu warga.
Harapan untuk Pemerintah dan Penegak Hukum
Pemerintah desa berharap ada langkah nyata dari pemerintah kabupaten maupun lembaga hukum lain untuk menyelesaikan konflik yang telah berlangsung puluhan tahun ini. “Saya berharap ada tim investigasi independen yang turun langsung ke lapangan, dan ada evaluasi terhadap putusan Mahkamah Agung,” ujar Kepala Desa.
Tanah dan Kehidupan: Bukan Sekadar Sengketa
Konflik di Dayunan bukan sekadar soal dokumen atau status administratif tanah. Bagi warga, lahan ini adalah soal kelangsungan hidup, identitas, dan martabat. Dengan proses hukum yang masih berjalan, warga berharap keadilan bukan hanya dimenangkan oleh legalitas, tetapi juga oleh hati nurani dan keberpihakan pada rakyat kecil. (irw)