Porosmedia.com, Bandung, 28 Juni 2025 – Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengumumkan lonjakan signifikan dalam struktur belanja pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Perubahan 2025. Dari sebelumnya hanya Rp1,7 triliun, belanja modal melonjak menjadi Rp5 triliun. Di permukaan, ini seolah menjadi pertanda keseriusan Gubernur Dedi Mulyadi (KDM) dalam membenahi ketimpangan sosial dan mempercepat pembangunan infrastruktur daerah.
Namun, euforia itu tak sepenuhnya merata. Di kalangan jurnalis lokal, khususnya yang tergabung dalam organisasi seperti JMSI (Jaringan Media Siber Indonesia) Jawa Barat, kenaikan belanja publik ini justru memantik kegelisahan. Sebab, di tengah peningkatan anggaran besar-besaran, keberadaan media lokal sebagai kanal informasi pembangunan justru tampak makin dipinggirkan.
“Jadi urang kudu memberitakan kesejahteraan Jawa Barat… namun lapar,” celetuk seorang jurnalis dalam forum diskusi internal media lokal, Sabtu pagi (28/6/2025), disambut tawa getir oleh kolega-koleganya.
Menurut Kepala Bappeda Jabar, Dedi Mulyadi, belanja modal ditingkatkan untuk mengejar ketertinggalan dalam pemerataan kesejahteraan. “Pertumbuhan ekonomi kita tinggi, tapi belum merata. Indeks Gini [ukuran statistik yang menggambarkan tingkat ketimpangan distribusi pendapatan atau kekayaan dalam suatu populasi] Jabar 2025 masih di angka 0,428, jauh di atas rata-rata nasional 0,3,” katanya. Untuk itu, pembangunan infrastruktur, khususnya jalan, mendapat porsi besar, dari Rp700 miliar menjadi Rp2,4 triliun.
Tapi, bagaimana dengan pembangunan ekosistem informasi publik? Apakah publik bisa turut serta mengawasi belanja triliunan itu jika kanal informasi yang relevan—yakni media lokal—justru dibiarkan terpinggirkan?
“Pak Gubernur semangat soal desa, tapi apakah desa tahu pembangunan itu kalau media lokal nggak dilibatkan? Sosialisasi bukan cuma di YouTube dan TikTok,” ujar Dede Gumilar, anggota JMSI Jawa Barat, asal Kota Banjar.
Di era KDM, narasi publik lebih banyak dibangun lewat media sosial pribadi. Kanal YouTube Kang Dedi Mulyadi Channel kini punya 6,9 juta pelanggan, bahkan menyaingi sejumlah media nasional dari sisi jangkauan. Instagram pribadinya pun dipenuhi konten-konten “sosialisasi pembangunan”, tanpa harus menggandeng media lokal.
Hal inilah yang dinilai para jurnalis sebagai bentuk pengabaian terhadap prinsip keberagaman sumber informasi.
“Kalau semua informasi pembangunan disampaikan sepihak lewat akun medsos pribadi gubernur, di mana peran media lokal sebagai pilar demokrasi?” kritik Sony, jurnalis senior di Bandung.
Akbar, jurnalis yang aktif memantau anggaran, bahkan menyebut model komunikasi KDM sebagai bentuk monopoli narasi. “KDM tak butuh media. Ia jadikan budaya sebagai decoy—semacam umpan simbolik. Tapi sebetulnya publik hanya disuguhkan realitas tunggal. Padahal kontrol sosial butuh pluralitas,” tegasnya.
Menariknya, dalam perbincangan internal media, muncul narasi jenaka namun menggigit: membandingkan KDM dengan Wiro Sableng. Seorang pengamat budaya dan Media, Anto Ramadhan, menuliskan analisis mendalam mengenai paralel keduanya. Dedi dianggap sebagai “pendekar budaya” yang menjadikan politik sebagai “kapak” melawan radikalisme dan intoleransi, layaknya Wiro dengan Kapak Naga Geni 212-nya.
Namun kritik muncul: jika Wiro Sableng berjuang untuk rakyat lemah, bagaimana dengan KDM yang dinilai mengabaikan pers lokal—komponen rakyat yang juga lemah dalam ekosistem demokrasi?
“Dulu mah KDM ngudag-ngudag media pas mau jadi bupati. Sekarang, wartawan mah minoritas di mata dia,” kenang seorang wartawan RMOL Jabar.
Beberapa anggota JMSI bahkan mendesak agar ketua organisasi segera mengirim surat resmi kepada Dewan Pers, Kementerian Kominfo, dan Presiden RI sebagai bentuk protes atas sikap Gubernur yang terkesan anti-kolaboratif terhadap media lokal dalam program-program pembangunan.
“Jika pemerintah mengalokasikan triliunan rupiah untuk pembangunan, lalu kenapa Rp1 untuk kemitraan media lokal begitu berat diberikan? Apakah kami hanya dilibatkan ketika dibutuhkan, lalu dibuang saat kekuasaan sudah di tangan?” ucap Akbar menutup diskusi.
Pembangunan yang efektif bukan hanya tentang beton, aspal, dan gedung. Ia juga soal komunikasi publik yang sehat, transparan, dan partisipatif. Bila semua narasi dibajak oleh media sosial pribadi elite kekuasaan, maka demokrasi kita pelan-pelan akan digantikan oleh monolog digital kekuasaan.
Jawa Barat mungkin tengah membangun fisiknya, tapi apakah jiwa demokrasinya ikut tumbuh?
https://youtu.be/duvi-4ynsP0?si=Cr78ciPBv6opwCgC