Porosmedia.com, Jakarta – Wakil Ketua Umum Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan TNI/Polri (FKPPI), Bambang Soesatyo (Bamsoet), kembali mengingatkan bahwa Indonesia tak lagi berada di medan ancaman konvensional. Dunia tengah menghadapi bentuk konflik baru yang lebih senyap namun mematikan: perang generasi kelima (Fifth Generation Warfare).
Bukan tank atau rudal yang kini merusak sistem, melainkan serangan siber, infiltrasi opini publik, manipulasi informasi, dan degradasi psikologis masyarakat melalui platform digital.
“FKPPI menilai sudah waktunya Indonesia membentuk Dewan Keamanan Nasional (DKN) sebagai lembaga tertinggi lintas sektor dalam merumuskan kebijakan strategis keamanan nasional. DKN ini harus berada langsung di bawah Presiden,” ujar Bamsoet saat Rapat Pleno Daring FKPPI, Kamis (19/6/2025).
Data dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) menunjukkan, Indonesia mengalami lebih dari 1,2 miliar serangan siber sepanjang 2023—meningkat 30 persen dari tahun sebelumnya. Target utama bukan hanya infrastruktur negara, tapi juga ruang privat warga negara: pendidikan, keuangan, hingga layanan publik digital.
Lebih dari sekadar statistik, situasi ini mengungkap rapuhnya pertahanan digital nasional. Terlebih lagi, dengan 204 juta pengguna internet, Indonesia merupakan “ladang subur” bagi disinformasi, ujaran kebencian, dan narasi disintegrasi.
“Inilah yang disebut accelerated warfare. Perang yang dipercepat oleh teknologi, dan diperparah oleh lambannya koordinasi antar-lembaga,” ujar Ketua MPR RI ke-15 ini.
Dalam pemaparannya, Bamsoet menegaskan bahwa DKN tidak boleh menjadi lembaga simbolis yang tumpang tindih. Ia menekankan perlunya satu sistem komando yang mengintegrasikan kerja TNI, Polri, BIN, BSSN, Kemenkominfo, dan lembaga lain agar Indonesia tidak lagi bersikap reaktif terhadap serangan multidimensi.
Namun di tengah seruan tersebut, muncul pertanyaan kritis: apakah Indonesia kekurangan lembaga, atau justru krisis dalam efektivitas, koordinasi, dan eksekusi? Banyak pihak menilai bahwa problem utama bukanlah jumlah institusi, melainkan tumpang tindih kewenangan, ego sektoral, dan lemahnya kapasitas prediktif kebijakan.
Bamsoet mengutip model National Security Council (NSC) Amerika Serikat, National Security Coordination Secretariat Singapura, hingga Majlis Keselamatan Negara Malaysia sebagai contoh kelembagaan strategis. Namun Indonesia memiliki konteks berbeda—baik dalam sistem pemerintahan, keterbukaan informasi, maupun kultur politik.
Sudah saatnya Indonesia tidak lagi reaktif terhadap krisis, tapi bergerak antisipatif dan strategis. DKN adalah langkah visioner,” tutup Bamsoet.
Usulan pembentukan DKN seharusnya bukan hanya dikaji dari segi urgensinya, tetapi juga dari akuntabilitas, efektivitas, dan risiko politisasi. Tanpa pembenahan tata kelola keamanan nasional yang transparan dan berbasis data, DKN berpotensi menjadi menara gading baru tanpa taji.
Apakah Indonesia siap membentuk pusat komando keamanan yang benar-benar lintas sektor dan non-politis? Atau hanya akan mempertebal birokrasi dalam medan perang yang sejatinya butuh respons cepat dan lincah?