Porosmedia.com, Bandung, 19 Mei 2025 — Di tengah kegaduhan kebijakan kesehatan nasional, para Guru Besar dan Akademisi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran mengeluarkan pernyataan resmi. Sebuah maklumat keras yang menyoroti arah kebijakan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) yang dinilai menyimpang dari prinsip etik, profesionalisme, dan tata kelola pendidikan kedokteran yang sah.
Dengan mengedepankan tanggung jawab intelektual dan moral, mereka menyampaikan keprihatinan mendalam atas intervensi pemerintah terhadap sistem pendidikan kedokteran dan layanan kesehatan. Kebijakan yang belakangan ini ditempuh Kemenkes dianggap bukan hanya keliru, melainkan membahayakan fondasi sistem kesehatan nasional yang berkeadilan dan bermartabat.
Krisis Nilai di Balik Krisis Kebijakan
Dalam pandangan para akademisi, pendidikan kedokteran tidak semestinya direduksi menjadi proses teknis pencetak tenaga kerja semata. Pendidikan medis adalah praktik luhur: membentuk insan yang tak hanya kompeten secara klinis, tetapi juga menjunjung nurani, etik, dan tanggung jawab sosial.
Namun hari ini, kata mereka, negara justru mendorong deregulasi dan pengambilalihan sepihak terhadap sistem pendidikan. Kemenkes dituding melewati batas kewenangannya, termasuk dengan:
Membentuk kolegium versi pemerintah tanpa partisipasi organisasi profesi dan universitas;
Menyederhanakan jalur kompetensi medis melalui pelatihan teknis singkat yang berisiko;
Menerapkan sistem Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis Rumah Sakit (RSPPU) tanpa kerangka akademik yang jelas.
Model pendidikan berbasis rumah sakit tanpa keterlibatan universitas disebut sebagai bentuk pelanggaran terhadap prinsip otonomi ilmiah dan tridarma perguruan tinggi. Dalam istilah sosiolog Max Weber, ini adalah bentuk Entzauberung — hilangnya kesakralan ilmu akibat rasionalitas birokratis yang kering dari nilai.
Tiga Titik Kritis
Maklumat ini menyebut tiga problem besar:
1. Pelanggaran terhadap ranah pendidikan tinggi.
Kemenkes dinilai mengambil alih fungsi desain dan pelaksanaan pendidikan tenaga medis, yang seharusnya menjadi domain Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
2. Kerentanan tata kelola rumah sakit vertikal.
Rumah sakit pendidikan justru menjadi ruang rawan etika dan akuntabilitas. Alih-alih dibenahi secara struktural, kasus pelanggaran etik malah dijadikan dalih untuk melemahkan institusi akademik.
3. Komunikasi publik yang tendensius dan tidak etis.
Pernyataan-pernyataan dari pejabat Kemenkes disebut sering menyerang profesi secara generalisasi, melemahkan kepercayaan publik terhadap dokter dan institusi pendidikan.
Seruan untuk Evaluasi Kepemimpinan Kemenkes
Atas dasar itu, para Guru Besar FK Unpad meminta Presiden RI untuk mengevaluasi kepemimpinan Kementerian Kesehatan karena:
Bertindak di luar kewenangan sektoral,
Mengambil alih fungsi pendidikan tinggi tanpa koordinasi lintas kementerian,
Mengabaikan prinsip etik dan otonomi profesi medis,
Melanggar transparansi dan asas kolaboratif dalam perumusan kebijakan publik.
Mereka juga mendesak DPR RI untuk menginisiasi Reformasi Kesehatan Nasional yang meninjau ulang tata kelola pendidikan kedokteran, rumah sakit vertikal, dan sinergi antar-lembaga.
Ajakan untuk Bangkitkan Nilai dan Etika
Akhirnya, kepada seluruh masyarakat, maklumat ini menyerukan untuk:
Bersikap kritis terhadap pendidikan kedokteran yang berjalan di luar sistem akademik resmi,
Menolak praktik instan dalam pembentukan dokter dan spesialis yang mengorbankan mutu dan etik,
Membangun kolaborasi etis antara negara, universitas, rumah sakit, dan profesi demi keselamatan pasien dan keadilan layanan kesehatan di masa depan.