Gejolak Pasar Rakyat Bandung: Ketika Pedagang Ditinggalkan, Jalanan Jadi Forum Aspirasi

Avatar photo

Oleh: Wempy Syamkarya (Pengamat Kebijakan Publik dan Politik)

Porosmedia.com — Kisruh sewa lahan yang menghantam Pasar Cicaheum akhir-akhir ini bukan hanya soal angka potongan 45 persen yang terdengar manis namun tak punya kejelasan teknis. Ini adalah gambaran nyata dari retaknya komunikasi dan perhatian antara pemerintah kota, DPRD, dan rakyat kecil yang menggantungkan hidup di balik deretan kios pasar.

Dalam rapat Paguyuban Pedagang Pasar Cicaheum pada Minggu, 18 Mei 2025, suara warga mengkristal dalam satu penolakan: “Jangan bayar sebelum jelas!” Potongan biaya sewa memang ditawarkan, namun tanpa kejelasan mengenai hak, kewajiban, maupun fasilitas yang akan diterima, potongan itu justru menyisakan tanda tanya. Lebih dari itu, pedagang menilai sistem sewa lahan justru memberatkan, terutama di tengah situasi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih.

Usulan konkret pun mengemuka: hapuskan sistem sewa lahan yang menyerupai praktik komersialisasi ruang rakyat, dan gantikan dengan skema retribusi yang wajar, transparan, serta berpihak pada kelangsungan hidup pedagang. Di saat bersamaan, tuntutan untuk mengembalikan pengelolaan pasar dari tangan Perumda ke Dinas terkait menunjukkan keresahan mendalam terhadap sistem manajerial yang dianggap semakin menjauh dari prinsip pelayanan publik.

Baca juga:  Baleg DPR RI Dukung Revisi Undang-undang PUB

Lebih jauh, gelombang ini tak berhenti di Cicaheum. Ciroyom telah bergerak, Haurgeulis dan Cicadas bersiap menyusul. Ketika DPRD Kota Bandung dianggap tutup mata dan telinga terhadap jeritan pedagang, maka aspirasi akan naik kelas: dari forum lokal ke mimbar provinsi. Di sinilah nama Kang Dedi Mulyadi mulai disebut-sebut—bukan sebagai politisi semata, melainkan sebagai simbol harapan dan perlindungan bagi rakyat kecil yang merasa dikhianati sistem.

Pertanyaannya: sampai kapan para wakil rakyat membiarkan bara ini menyala tanpa arah? Jika pasar-pasar di Bandung tutup serentak untuk berdemo, itu bukan sekadar mogok dagang. Itu adalah bentuk perlawanan diam yang sangat nyaring: ketika ruang politik gagal menjadi pelindung, rakyat akan menjadikan jalanan sebagai panggung terakhir untuk bicara.

DPRD Kota Bandung tak bisa lagi diam. Ini bukan hanya soal ekonomi, tapi soal martabat rakyat yang dipertaruhkan di antara deretan kios dan tumpukan sayur mayur yang tak laku karena mereka lebih sibuk memperjuangkan hak hidupnya. Jangan biarkan aspirasi ini menjadi bara yang membakar kota. Dengarlah sebelum semuanya terlambat.