Hari Kesadaran dan Penolakan LGBT: Antara Hak Asasi, Identitas Budaya, dan Pergulatan Sosial Indonesia

Avatar photo

Porosmedia.com — Setiap 17 Mei, dunia memperingati Hari Internasional Melawan Homofobia, Transfobia, dan Bifobia (IDAHOTB). Di tingkat global, peringatan ini menjadi simbol perjuangan hak asasi bagi kelompok LGBT. Namun di Indonesia, tanggal ini kerap justru memicu ketegangan sosial, penolakan publik, hingga gelombang kontra-narasi atas nama agama dan budaya lokal.

Alih-alih menjadi momentum reflektif, Hari Kesadaran LGBT seringkali berubah menjadi ajang kontestasi ideologis, menampilkan dua kutub ekstrem yang saling menegasikan.

Realitas Ganda: Antara Pengakuan Internasional dan Resistensi Domestik

Komisi HAM PBB menyebutkan bahwa orientasi seksual dan identitas gender adalah bagian dari spektrum hak asasi yang harus dijamin negara. Namun pemerintah Indonesia menolak banyak rekomendasi HAM internasional terkait LGBT dalam forum UPR 2022, dengan alasan nilai budaya dan norma keagamaan nasional.

Pernyataan ini diamini oleh KH. Ahmad Bustomi, Ketua MUI Jawa Barat, yang menegaskan, “Masyarakat Indonesia tidak bisa menerima normalisasi LGBT. Ini bukan hanya urusan pribadi, tapi menyangkut moral publik. Kami menolak keras segala bentuk kampanye atau peringatan yang mengarah pada legalisasi perilaku menyimpang.”

Baca juga:  Mengenal NYI Ageng Serang - Pahlawan Perjuangan Wanita dari Jawa Tengah

Namun, suara berbeda muncul dari Fr. Yulius Ardhana, OMI, imam Katolik di Keuskupan Agung Palembang. Ia mengatakan bahwa pendekatan penolakan justru memperparah luka sosial. “Mengutuk bukan solusi. Gereja Katolik, walau menolak praktik homoseksual, tetap memanggil kita untuk mengasihi tanpa syarat. Banyak orang LGBT datang dengan luka batin yang dalam akibat diskriminasi,” jelasnya.

Budaya Lokal: Ketika Tradisi Menyediakan Ruang Abu-abu

Penolakan terhadap LGBT seringkali diklaim sebagai “aspirasi budaya asli”. Namun dalam realitas historis, banyak masyarakat adat di Indonesia justru memiliki struktur sosial yang mengakomodasi keberagaman gender.

Dr. La Ode Aksa, peneliti budaya Sulawesi Tenggara, menjelaskan, “Dalam komunitas Tolaki, dikenal istilah mbotoe atau laki-laki yang bertingkah seperti perempuan, yang diterima sebagai bagian dari masyarakat. Mereka bahkan punya peran dalam ritus adat tertentu.” Fenomena serupa ditemukan di Bugis-Makassar (bissu), Dayak (basir), dan Bali (calon arang).

Ini menunjukkan bahwa budaya lokal tidak homogen dalam menolak LGBT, dan kadang bahkan lebih toleran daripada institusi negara.

Baca juga:  Pangdam Tanjungpura Tutup Open Tournament Tenis Lapangan Junior Piala Panglima TNI

Kekerasan dan Penyangkalan Negara

Meskipun Indonesia tidak mengkriminalisasi LGBT secara eksplisit, banyak pemerintah daerah mengadopsi perda yang membatasi ruang gerak mereka. Di beberapa wilayah seperti Padang, Aceh, dan Garut, aparat gabungan pernah membubarkan kelompok diskusi atau komunitas LGBT secara paksa.

Sri Wahyuni, aktivis perempuan dan direktur lembaga advokasi HAM di Yogyakarta, mengungkapkan, “Negara menciptakan ruang kosong hukum. LGBT tidak diakui, tapi juga tidak dilindungi. Ini membuat kekerasan oleh ormas atau aparat menjadi tidak terhukum.”

Laporan Human Rights Watch tahun 2023 mencatat meningkatnya intensitas intimidasi terhadap komunitas LGBT di Indonesia, terutama di media sosial dan ruang publik. Doxing, penggerebekan, hingga pelabelan “penyakit sosial” masih lazim.

Jalan Tengah: Ruang Dialog sebagai Solusi

Indonesia membutuhkan pendekatan yang lebih konstruktif dan rasional. Wacana publik seharusnya tidak didominasi oleh dogma, tetapi membuka ruang dialog antara agama, hukum, dan budaya lokal.

Dr. Ahmad Ma’ruf, akademisi sosiologi dari UIN Sunan Ampel Surabaya, menyatakan: “Yang kita butuhkan bukan pengakuan sepenuhnya atau penolakan mutlak, tapi kerangka dialog sosial yang manusiawi. LGBT adalah fakta sosiologis. Negara harus bisa berdiri sebagai mediator yang adil.”

Baca juga:  Mestinya Kelangkaan Migor Domestik Tidak lagi Terjadi

Penutup: Negara Tidak Boleh Absen dalam Keadilan Sosial

Hari Kesadaran LGBT tidak akan pernah dimaknai seragam oleh semua pihak. Tetapi negara harus tegas dalam prinsip: semua warga negara, apapun identitasnya, berhak atas perlindungan dari kekerasan, diskriminasi, dan penghinaan.

Penolakan boleh ada, tapi tidak boleh menjadi legitimasi kekerasan. Sebaliknya, penerimaan juga tidak boleh menjadi alat memaksakan perubahan terhadap tatanan sosial secara instan.

Sebagaimana dikatakan Gus Dur (Abdurrahman Wahid): “Tidak penting apapun agama dan sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan tanya apa agamamu.”