Porosmedia.com — Dalam sunyi lorong-lorong proyek pembangunan nasional, tersembunyi praktik yang menjadi rahasia umum namun nyaris tak tersentuh hukum: praktik “deking” dalam dunia kontraktor. “Deking” merujuk pada perlindungan atau backing oleh kekuatan tertentu—baik dari unsur militer, kepolisian, kejaksaan, hingga tokoh-tokoh politik dan pejabat tinggi negara—yang melindungi atau memuluskan jalan bagi kontraktor tertentu untuk memenangkan tender-tender pemerintah.
Praktik ini bukan sekadar bentuk kolusi pasif. Ia telah menjadi struktur kekuasaan informal yang menjelma sebagai “negara dalam negara”, di mana kekuatan hukum, politik, dan ekonomi menyatu demi kepentingan pribadi dan kelompok.
Pola dan Praktik Deking
Deking bekerja melalui tiga jalur utama:
1. Eksekutif: Pejabat daerah dan kementerian kerap menjadi pintu masuk awal. Kontraktor “dideking” dengan menyodorkan proposal yang telah “disetujui” oleh aktor penting, baik karena hubungan personal maupun intervensi dari tokoh berpengaruh. Dalam banyak kasus, militer atau pensiunan jenderal ikut bermain sebagai penyambung kekuasaan—membawa nama besar untuk mengamankan proyek.
2. Legislatif: Anggota DPRD maupun DPR RI, terutama yang duduk di komisi anggaran, diduga kerap menjadi “penjamin” alokasi proyek. “Bancakan” proyek menjadi rahasia umum, di mana satu proyek besar dibagi ke beberapa kontraktor titipan politisi lintas fraksi.
3. Yudikatif dan Aparat Penegak Hukum: Yang paling mengkhawatirkan adalah ketika kejaksaan atau kepolisian menjadi bagian dari perlindungan ini. Alih-alih mengusut penyimpangan proyek, mereka justru menjadi “penjaga” jalannya kontrak, asalkan pihak pelaksana merupakan kontraktor binaan atau titipan institusi.
Kutipan Pakar dan Fakta Hukum
Dr. Hifdzil Alim, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat UGM), menyebut praktik deking sebagai bentuk “state capture” atau penangkapan negara oleh kepentingan oligarkis. “Negara dipaksa bekerja untuk segelintir elit yang mengendalikan kekuasaan. Deking bukan hanya soal relasi kuasa, tapi soal pembajakan fungsi negara,” ujarnya dalam diskusi publik 2024 lalu.
Dalam aspek hukum, praktik ini melanggar sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terutama:
Pasal 5 dan Pasal 12: Mengenai suap kepada atau oleh penyelenggara negara;
Pasal 21: Mengenai upaya menghalang-halangi penyidikan, sering terjadi saat aktor deking mengintimidasi aparat yang berusaha memproses hukum pelanggaran proyek.
Sementara itu, dari sisi pengadaan barang dan jasa, Perpres No. 16 Tahun 2018 dan aturan turunannya mengatur larangan konflik kepentingan serta intervensi pihak luar dalam proses lelang. Namun, aturan ini kerap lumpuh karena kuatnya jejaring kekuasaan informal di balik kontraktor dekingan.
Kasus dan Indikasi Nyata
Pada tahun 2023, kasus pengadaan proyek irigasi di sebuah kabupaten di Jawa Tengah terungkap karena adanya intervensi dari oknum pensiunan TNI yang disebut-sebut mengamankan proyek senilai Rp 130 miliar. Kasus ini sempat diselidiki oleh Kejaksaan Tinggi, namun berhenti tanpa penjelasan.
Kasus serupa terjadi di Papua dan Kalimantan, di mana tokoh adat, elite politik lokal, hingga anggota legislatif menjadi jembatan kontraktor untuk menguasai proyek-proyek infrastruktur strategis nasional.
Mengapa Deking Sulit Diberantas
1. Asimetri Kekuasaan: Kontraktor yang mendapat backing cenderung kebal hukum karena aparat penegak hukum sendiri bisa menjadi bagian dari jejaring tersebut.
2. Ketertutupan Proses Tender: Meski sistem LPSE dan e-procurement dirancang untuk transparansi, manipulasi tetap terjadi di tahap pra-lelang dan pengambilan keputusan akhir.
3. Budaya Feodal dan Loyalitas Pribadi: Dalam banyak kasus, loyalitas kepada tokoh besar, jenderal, atau partai lebih tinggi dari integritas kepada hukum.
Rekomendasi Reformasi dan Jalan Keluar
1. Audit Independen Proyek-Proyek Rawan: Terutama proyek dengan nilai di atas Rp 100 miliar harus diaudit oleh BPKP atau lembaga independen, bukan sekadar internal pemerintah.
2. Penguatan Whistleblower Protection: Banyak kontraktor atau pejabat ASN tahu praktik ini, tetapi takut bersuara. Perlindungan hukum bagi pelapor harus diperkuat dan dijamin oleh lembaga non-politik.
3. Keterlibatan KPK dan Pengawasan Media: Praktik deking harus menjadi perhatian serius KPK, dengan pemetaan jaringan informal kontraktor-pengatur. Media pun perlu menyajikan investigasi mendalam, bukan hanya memberitakan hasil tender.
Deking adalah wajah lain dari korupsi struktural. Ia bukan hanya soal proyek yang bocor, tapi soal hancurnya tatanan hukum dan hilangnya kepercayaan publik pada institusi negara. Jika praktik ini terus dibiarkan, maka pembangunan bukanlah buah dari kebijakan publik, melainkan dari negosiasi kotor elit-elit gelap. Sudah saatnya masyarakat, media, dan aparat yang masih berintegritas melawan senyapnya skandal ini.