Walkout Fraksi PDIP di DPRD Jabar: Protes Konstitusional atas Gaya Kepemimpinan Dedi Mulyadi

Avatar photo

Porosmedia com, Bandung — Aksi walkout Fraksi PDIP dalam Rapat Paripurna DPRD Jawa Barat menjadi sorotan publik dan mencerminkan eskalasi konflik politik antara legislatif dan eksekutif di tingkat provinsi. Langkah ini bukan hanya bentuk ketidaksetujuan, tapi sinyal kuat adanya krisis legitimasi dan ketegangan dalam tata kelola pemerintahan daerah, khususnya terhadap gaya kepemimpinan Gubernur Dedi Mulyadi yang dinilai menyimpang dari prinsip kolektifitas dan asas akuntabilitas publik.

Latar Belakang Walkout: Ketidakhadiran yang Bermakna

Walkout yang dilakukan Fraksi PDIP tidak bisa dibaca sebagai tindakan impulsif. Di dalam sistem demokrasi, aksi tersebut adalah bentuk “absensi bermakna” — ketidakhadiran yang mengandung pesan politik. Fraksi PDIP menilai bahwa berbagai kebijakan Gubernur Dedi Mulyadi mengabaikan mekanisme partisipasi politik serta cenderung menyalahi prinsip transparansi dan checks and balances. Salah satunya adalah pelaksanaan proyek-proyek besar yang dianggap minim konsultasi dengan DPRD, serta kebijakan populis yang lebih berorientasi pada pencitraan ketimbang hasil substantif.

Alasan Hukum dan Politik

Secara hukum, walkout adalah bentuk ekspresi politik yang dilindungi oleh sistem demokrasi perwakilan. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memberi ruang bagi DPRD untuk mengawasi dan memberikan masukan terhadap kinerja kepala daerah. Ketika hak interpelasi atau hak angket belum mampu dijalankan secara efektif, walkout menjadi strategi simbolik untuk menarik perhatian publik dan membentuk tekanan politik.

Baca juga:  Kenapa harus ada (semacam) Sirkus saat menjelang Hari Isra Mi'raj di Solo?

Lebih lanjut, Pasal 101 ayat (1) huruf b Undang-Undang MD3 menyatakan bahwa anggota DPRD memiliki hak menyatakan pendapat atas kebijakan pemerintah daerah. Walkout adalah manifestasi dari hak tersebut, sekaligus bentuk protes konstitusional yang sah terhadap kebijakan yang dinilai melampaui kewenangan atau bertentangan dengan aspirasi rakyat.

Kritik Terhadap Gaya Kepemimpinan Dedi Mulyadi

Gubernur Dedi Mulyadi selama ini dikenal dengan pendekatan populisnya yang masif di media sosial, namun kritik tajam muncul terkait absennya proses deliberatif dalam pengambilan keputusan. PDIP menilai bahwa Dedi kerap melakukan kunjungan-kunjungan ke daerah secara sepihak tanpa koordinasi dengan pemangku kepentingan lokal maupun legislatif. Padahal, fungsi gubernur bukan hanya sebagai pemimpin administratif, tetapi juga sebagai pengayom demokrasi daerah yang harus membuka ruang dialog lintas partai.

Selain itu, beberapa kebijakan seperti perubahan alokasi anggaran dan restrukturisasi birokrasi dianggap tidak melalui kajian mendalam dan terburu-buru. Hal ini berpotensi menghambat fungsi pengawasan legislatif dan mengurangi efektivitas pelayanan publik.

Implikasi Politik dan Tata Kelola

Baca juga:  FPN Minta Paus Tekan Israel Hentikan Genosida di Palestina

Aksi walkout ini memperlihatkan gejala disfungsi dalam relasi eksekutif-legislatif di Jawa Barat. Jika dibiarkan tanpa resolusi yang berbasis dialog, situasi ini bisa memicu polarisasi yang lebih tajam di tahun-tahun politik ke depan. DPRD memiliki fungsi strategis sebagai penyambung suara rakyat, dan jika fungsi ini diabaikan oleh kepala daerah, maka ketimpangan kekuasaan bisa mencederai prinsip demokrasi lokal.

Lebih jauh, konflik terbuka ini harus dijadikan momentum untuk memperkuat kembali tata kelola pemerintahan berbasis checks and balances. Diperlukan pembentukan forum konsultatif antarfraksi dan eksekutif untuk membahas ulang mekanisme penyusunan kebijakan, pelaksanaan program prioritas, hingga transparansi penggunaan anggaran.

Penutup: Politik Bukan Sekadar Panggung

Walkout bukan sekadar aksi teatrikal politik, melainkan bentuk perlawanan simbolik terhadap praktik kekuasaan yang dianggap tidak sehat. Fraksi PDIP telah menempuh jalur konstitusional untuk menyatakan sikapnya, dan kini bola ada di tangan Gubernur Dedi Mulyadi: apakah ia akan membuka ruang dialog, atau tetap melanjutkan gaya kepemimpinan tunggal yang berpotensi memicu resistensi politik lebih luas.

Baca juga:  Youth Of Voice Festival Menjadi Wadah untuk Bersuara

Dalam sistem demokrasi, legitimasi tidak hanya berasal dari suara rakyat dalam pilkada, tetapi juga dari kemampuan untuk mengelola kekuasaan secara inklusif, akuntabel, dan partisipatif. Inilah saatnya pemerintah provinsi Jawa Barat menunjukkan kedewasaan politik, bukan sekadar kecekatan retorika.