Porosmedia.com — Di tengah semarak demokrasi yang makin digital dan terbuka, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi justru memilih jalan sunyi: menutup diri dari jurnalisme profesional dan menyerahkan narasi pemerintahan pada kanal YouTube pribadinya, KDM Channel. Sebuah langkah yang, jika dibiarkan, berpotensi mengancam prinsip dasar transparansi publik dan mencederai hak masyarakat atas informasi yang berimbang.
Pernyataan-pernyataan Dedi Mulyadi di berbagai forum resmi negara, termasuk di hadapan anggota DPR RI dan saat Musrenbang, bukan sekadar ekspresi kebanggaan atas efisiensi anggaran. Ia adalah bentuk penyesatan peran media dalam sistem demokrasi. Dengan dalih penghematan, Gubernur telah mereduksi fungsi jurnalis menjadi sekadar alat promosi, bukan penjaga nalar publik.
Jurnalisme Bukan Buzzer Kekuasaan
Dalam sebuah demokrasi yang sehat, pers berfungsi sebagai pilar keempat: pengontrol kekuasaan yang independen, tajam, dan berbasis fakta. Ketika Gubernur menegaskan keengganannya untuk “dibuntuti” wartawan, kita tidak hanya sedang menyaksikan arogansi jabatan, tetapi juga kegagalan memahami ekosistem informasi demokratis.
Menuduh media bersuara kritis karena kehilangan anggaran publikasi adalah narasi picik yang mengaburkan substansi. Kritik terhadap Pemerintah Provinsi Jawa Barat bukan karena jurnalis kehilangan kue iklan, melainkan karena kanal informasi publik sedang direduksi menjadi panggung satu arah. Jika kebenaran hanya difilter oleh algoritma kanal pribadi, maka yang tersisa bukanlah informasi, tapi propaganda digital berbalut pencitraan.
Efisiensi yang Menyingkirkan Partisipasi
Kebijakan efisiensi anggaran publikasi seolah dijadikan dalih sakti untuk menyingkirkan kehadiran media massa. Padahal, anggaran bukan satu-satunya sumber legitimasi kerja jurnalistik. Masalahnya bukan soal uang, tapi soal akses, partisipasi, dan penghormatan terhadap fungsi kontrol sosial.
Pemerintahan yang menutup ruang bagi pers—betapapun canggih kanal komunikasinya—adalah pemerintahan yang tidak ingin diawasi. Dan tanpa pengawasan, demokrasi akan tumbuh dengan akar rapuh.
KAWANI: Menjaga Marwah Profesi di Tengah Ancaman Bungkam
Komunitas Aliansi Wartawan Investigatif Gedung Sate Indonesia (KAWANI) telah menyuarakan sikap tegas. Mereka bukan musuh siapa pun, kecuali ketidakbenaran. Pernyataan sikap mereka bukan sekadar peringatan bagi Gubernur Dedi Mulyadi, tapi juga pengingat bagi kita semua bahwa profesi jurnalis bukan ornamen dalam panggung politik.
KAWANI telah menggarisbawahi empat poin penting:
1. Menolak segala bentuk pelemahan kerja jurnalistik.
2. Mendesak ruang yang setara bagi wartawan dalam mengawal pemerintahan.
3. Mengajak solidaritas komunitas pers untuk tidak tunduk pada narasi kekuasaan.
4. Meminta DPRD dan Dewan Pers mengevaluasi pola komunikasi eksklusif Pemprov Jabar.
Sikap ini penting, karena demokrasi tanpa jurnalis yang bebas sama halnya dengan negara tanpa jendela: tak ada cahaya yang masuk, dan tak ada yang tahu apa yang terjadi di dalam.
Demokrasi Butuh Jurnalisme yang Merdeka
Jika hari ini seorang gubernur merasa cukup menyampaikan kebijakan melalui kanal YouTube pribadi, maka esok lusa kepala daerah lain bisa saja menyusul, menjadikan ruang publik sebagai panggung monolog. Saat itu terjadi, bukan hanya wartawan yang dilucuti fungsinya—masyarakat pun kehilangan haknya atas informasi yang adil dan akurat.
Kami di Poros Media berdiri bersama mereka yang percaya: jurnalisme bukan bagian dari protokol kekuasaan. Ia adalah mata dan telinga rakyat. Maka, ketika pejabat publik mulai menutup pintu bagi jurnalis, sesungguhnya ia sedang menutup pintu bagi demokrasi.