Porosmedia.com, Jakarta, 12 Mei 2025 –
Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia (DePA-RI) menyatakan sikap tegas atas penangkapan dan penetapan status tersangka terhadap mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB), inisial SSS, yang diadili karena unggahan meme satire bergambar Presiden Prabowo Subianto dan mantan Presiden Joko Widodo. Tuduhan pelanggaran UU ITE yang dialamatkan pada SSS dianggap sebagai tindakan represif dan kriminalisasi terhadap kebebasan berekspresi.
Unggahan meme yang dipermasalahkan jelas merupakan karya satire—bagian dari ekspresi seni dan kritik sosial, bukan konten bermuatan pornografi atau informasi palsu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 27 ayat (1) jo Pasal 45 ayat (1), maupun Pasal 35 jo Pasal 51 ayat (1) UU ITE. DePA-RI menilai bahwa unsur pidana dalam pasal-pasal tersebut tidak terpenuhi, dan upaya penegakan hukum justru keluar dari proporsinya.
“Ini bukan perkara ujaran kebencian, apalagi pencemaran nama baik personal. Ini adalah kritik yang seharusnya dijawab dengan kepala dingin, bukan borgol,” tegas Ketua Umum DePA-RI, Dr. TM Luthfi Yazid, S.H., LL.M.
Putusan Mahkamah Konstitusi No.105/PUU-XXII/2024 secara eksplisit menyebut bahwa lembaga negara, pejabat publik, dan profesi tidak dapat menjadi subjek pelapor dalam kasus pencemaran nama baik. Artinya, kritik terhadap seorang Presiden sebagai pemimpin negara—apalagi melalui medium seni—tidak bisa begitu saja dijadikan dasar pidana.
Dalam negara demokrasi, kritik adalah napas, dan mahasiswa adalah paru-parunya. ITB sebagai institusi yang telah melahirkan banyak pemikir dan pemimpin bangsa, seharusnya menjadi ruang aman bagi ekspresi dan keberanian moral. Mengkriminalisasi mahasiswi karena meme justru merusak iklim akademik dan membungkam suara generasi muda.
DePA-RI juga mengapresiasi sikap ITB yang mendampingi SSS secara akademik dan psikologis, serta langkah keluarga yang telah menyampaikan permintaan maaf secara terbuka sebagai bentuk tanggung jawab moral. Namun, itu semua tidak menghapus fakta bahwa pendekatan hukum yang digunakan sangatlah keliru dan mencederai akal sehat publik.
DePA-RI mendesak:
Proses hukum terhadap SSS segera dihentikan.
Status tersangka dicabut dan SSS dibebaskan.
Nama baik dan hak-hak akademik SSS dipulihkan.
Aparat penegak hukum menghentikan praktik kriminalisasi ekspresi warga.
“Jika ruang kritik dipersempit, maka ruang otoritarianisme akan melebar. Jangan biarkan demokrasi kita mundur hanya karena alergi pada meme,” tutup Luthfi Yazid.
Kebebasan berekspresi bukan hadiah, melainkan hak konstitusional yang dijamin undang-undang. Jangan sampai meme mahasiswa lebih menakutkan daripada korupsi pejabat.