Porosmedia.com – Dalam upaya memperkuat respons global terhadap pandemi, Indonesia terlibat dalam negosiasi dua instrumen internasional utama: Pandemic Agreement dan amendemen International Health Regulations (IHR). Namun, di tingkat nasional, pengesahan Undang-Undang Kesehatan No. 17 Tahun 2023 menimbulkan kekhawatiran terkait kedaulatan dan keadilan dalam sistem kesehatan. Artikel ini menganalisis secara kritis ketiga instrumen tersebut, mengidentifikasi potensi dampaknya terhadap Indonesia.
1. Pandemic Agreement: Antara Solidaritas Global dan Risiko Ketimpangan
Pandemic Agreement merupakan inisiatif WHO untuk memperkuat kerja sama antarnegara dalam pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons terhadap pandemi. Dalam negosiasi yang masih berlangsung, Indonesia menekankan prinsip kesetaraan, khususnya dalam akses terhadap data patogen dan pembagian manfaat (PABS), transfer teknologi, serta pendanaan.
Namun, kritik muncul dari berbagai organisasi masyarakat sipil Indonesia. Mereka menyoroti bahwa ketentuan dalam draf perjanjian cenderung memberatkan negara berkembang, dengan kewajiban berbagi data tanpa jaminan akses yang adil terhadap hasil penelitian atau produk kesehatan. Selain itu, ketentuan transfer teknologi bersifat sukarela dan tidak mengikat, yang berpotensi memperkuat ketimpangan antara negara maju dan berkembang.
Koalisi masyarakat sipil juga menyoroti kurangnya pelibatan kelompok rentan dalam proses negosiasi, serta absennya perspektif gender dan inklusi sosial dalam draf perjanjian. Mereka mendesak agar definisi kelompok rentan diperluas dan pelibatan masyarakat diperkuat untuk memastikan keadilan dalam implementasi perjanjian.
2. International Health Regulations (IHR): Revisi yang Mengundang Pro dan Kontra
IHR adalah perjanjian internasional yang mengatur pencegahan dan respons terhadap ancaman kesehatan global. Revisi IHR tahun 2005 memperluas cakupan perjanjian, termasuk penetapan Public Health Emergency of International Concern (PHEIC).
Namun, amandemen terbaru IHR menuai kritik di Indonesia. Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menyatakan bahwa amandemen tersebut berpotensi mengurangi kedaulatan nasional, karena WHO dapat menetapkan standar dan kebijakan yang harus diikuti oleh negara anggota, termasuk Indonesia. Ia juga menyoroti risiko intervensi asing dalam kebijakan kesehatan nasional dan potensi beban utang akibat kewajiban yang ditetapkan oleh WHO.
3. UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023: Omnibus Law yang Kontroversial
Di tingkat nasional, Indonesia mengesahkan UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023 sebagai omnibus law yang menggabungkan berbagai regulasi di sektor kesehatan. Pemerintah menyatakan bahwa undang-undang ini bertujuan untuk memperkuat sistem kesehatan nasional dan meningkatkan kesiapsiagaan terhadap pandemi.
Namun, kritik muncul terkait potensi intervensi asing melalui adopsi standar internasional yang ditetapkan oleh WHO dalam UU tersebut. Siti Fadilah Supari mengkhawatirkan bahwa UU ini dapat membuka jalan bagi dominasi asing dalam sistem kesehatan Indonesia, termasuk dalam pengumpulan dan penggunaan data kesehatan masyarakat.
Keterlibatan Indonesia dalam Pandemic Agreement dan revisi IHR menunjukkan komitmen terhadap kerja sama global dalam menghadapi pandemi. Namun, penting untuk memastikan bahwa keterlibatan tersebut tidak mengorbankan kedaulatan nasional dan keadilan bagi masyarakat Indonesia.
Pemerintah perlu memperkuat posisi tawar dalam negosiasi internasional, memastikan bahwa kepentingan nasional dan hak masyarakat, terutama kelompok rentan, dilindungi. Selain itu, transparansi dan pelibatan masyarakat sipil dalam proses legislasi dan implementasi kebijakan kesehatan sangat penting untuk membangun sistem kesehatan yang adil dan berdaulat.