Porosmedia.com – Setiap tanggal 2 Mei, bangsa ini memperingati Hari Pendidikan Nasional. Tanggal itu diambil dari hari lahir Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional. Namun di tengah rutinitas seremoni tahunan, pendidikan justru menjauh dari semangat yang diwariskannya. Gagasan Ki Hajar yang menempatkan pendidikan sebagai alat pembebasan kini seakan terkubur di balik kurikulum, ujian, dan birokrasi yang kian menindas.
Dalam kerangka inilah, pemikiran Roem Topatimasang kembali mengemuka. Dalam bukunya Sekolah Itu Candu, Roem menyuguhkan kritik tajam terhadap sistem persekolahan modern. Ia membuka perbincangan dengan melacak asal-usul kata “school” dari bahasa Yunani scholé, yang berarti waktu senggang. Sekolah dahulu adalah tempat orang dewasa berkumpul, belajar secara bebas karena dorongan ingin tahu. Namun dalam perkembangannya, sekolah berubah menjadi institusi kontrol. Anak-anak diwajibkan hadir, duduk di bangku yang sama, menerima pelajaran yang sama, dinilai dengan standar yang seragam. Sekolah menjelma menjadi alat penjinakan, bukan pembebasan.
Kritik Roem seakan menggaungkan kembali warisan pemikiran Ki Hajar Dewantara. Ki Hajar tidak hanya mendirikan lembaga pendidikan alternatif Taman Siswa, tapi juga merumuskan falsafah pendidikan yang menolak model kolonial. Ia menempatkan anak sebagai pusat proses belajar dan menekankan pentingnya pendidik sebagai penuntun, bukan penguasa. Gagasannya terangkum dalam semboyan yang terkenal: Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani—di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, di belakang mendorong kemandirian.
Ki Hajar membangun konsep sistem Among, yaitu sistem pendidikan yang tidak menggunakan paksaan dan hukuman, melainkan memberi ruang bagi anak untuk tumbuh sesuai kodratnya. Bagi Ki Hajar, pendidikan adalah proses pemerdekaan manusia lahir dan batin. Pendidik bukan sekadar pengajar, tapi pengasuh jiwa, penanam nilai, dan penjaga tumbuhnya martabat kemanusiaan.
Di sinilah titik pertemuan antara Roem dan Ki Hajar. Meski lahir dari konteks zaman yang berbeda, keduanya berpijak pada semangat yang sama: menempatkan pendidikan sebagai proses pemanusiaan, bukan produksi tenaga kerja atau alat penyesuaian sosial. Roem mengingatkan bahwa sekolah tak boleh menjadi candu yang membuat manusia lupa berpikir dan merasa. Ki Hajar lebih dulu menegaskan bahwa pendidikan tidak boleh menjauh dari kebudayaan, kebebasan, dan kedaulatan diri.
Dalam konteks Hari Pendidikan Nasional 2025, gagasan-gagasan ini menjadi penting untuk dikaji ulang. Ketika sekolah-sekolah justru memproduksi tekanan mental, ketika kebijakan pendidikan lebih mengejar nilai daripada makna, ketika anak-anak kehilangan suaranya dalam sistem yang rigid, maka pertanyaannya sederhana: pendidikan kita, untuk siapa dan untuk apa?
Hari Pendidikan Nasional seharusnya menjadi momentum untuk menyusun kembali arah. Bukan sekadar peringatan, melainkan perenungan. Bukan sekadar mengenang Ki Hajar, melainkan melanjutkan perjuangannya. Bukan hanya mengkritisi sekolah seperti Roem, tapi juga berani membayangkan bentuk-bentuk pendidikan yang baru—yang lebih membebaskan, memerdekakan, dan manusiawi.
Jika kita sungguh ingin menghormati Hari Pendidikan Nasional, maka tak cukup dengan baris-baris pidato atau parade seragam. Kita perlu keberanian untuk bertanya: apakah sistem pendidikan hari ini telah menuntun anak-anak kita menjadi manusia merdeka, atau justru memenjarakan mereka dalam sistem nilai yang tak mereka pahami? Jawabannya mungkin telah ditulis oleh Ki Hajar dan Roem—tinggal apakah kita mau mendengarkan.
SELAMAT HARI PENDIDIKAN NASIONAL