Oleh : Singky Soeeadji
Salam Lestari !
Porosmedia.com – Indonesia merupakan salah satu negara “Mega Biodiversity” yang memiliki keaneka ragaman sumber daya alam hayati yang sangat melimpah.
Namun pada kenyataannya jumlah sumber daya alam tersebut menurun dengan tajam akibat kerusakan habitat alami, terutama oleh eksploitasi secara tak terkendali.
Banyak jenis satwa terancam dan bahkan berada di ambang pintu kepunahan, sehingga peran serta dari lembaga konservasi ex-situ, seperti kebun binatang, taman safari, taman satwa semakin penting menjadi andalan dalam upaya konservasi.
Lembaga Konservasi secara evolusi mengalami perubahan dari bentuk “menagerie” untuk melayani kesenangan pribadi ke “Zoological Park” atau ‘Living Museum’ menjadi “Conservation Centre” yang lebih berperan sebagai “Environmental Resource Centre”.
Sebagai konsekuensinya taman satwa harus menempatkan dirinya sebagai pusat konservasi.
Badak, Harimau, Orangutan, Gajah dan satwa liar lainnya kehilangan rumahnya, hutan yang menjadi habitatnya berubah menjadi Kebun Sawit dan pemukiman.
Perut bumi di gali, di keluarkan isinya sebagai hasil tambang, alih-alih untuk kesejahteraan, rakyat makin miskin dan negara makin besar hutangnya.
Bencana alam terjadi dimana-mana, Jawa Barat dan sekarang Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, NTT dan Provinsi lain menunggu giliran.
Bencana di Sumatera itu baru pembukaan, berikut bencana akan hadir di Sulawesi, Kalimantan, Jawa Barat, NTT dan Papua.
Indonesia masuk dalam negara yang memiliki hutan terluas nomer tiga di dunia, seluas 120 Juta Hektar (Ha), tadinya.
Sekarang Indonesia menjadi negara yang mengalami kerusakan hutan terparah nomer dua di dunia.
Hutan di Indonesia rata-rata Berkurang 1,3 Juta Hektare dalam setiap 5 Tahun.
Kejahatan kehutanan berjalan pararel dengan kepunahan satwa yang dilindungi.
Di era orde baru hutan kita dijarah untuk diambil kayunya.
Di era reformasi hutan kita di eksploitasi menjadi Kebun Sawit.
Di era sekarang hutan kita di kuras perutnya untuk Tambang.
Hutan yang hilang paling banyak berada di Pulau Kalimantan, terlebih dengan adanya Proyek IKN.
Hutan meminimalisir bencana alam, seperti banjir dan tanah longsor.
Hutan juga meminimalisir bencana kekeringan, karena menyediakan kebutuhan air dari sumber mata air bersih alami.
Hutan bahkan juga menyediakan kebutuhan nabati, kebutuhan daging dari satwa buruan seperti Babi Hutan atau Rusa, saat populasinya melimpah.
Membiarkan kerusakan hutan oleh para cukong adalah pemakluman atas kepunahan isi hutan, termasuk satwa liar yang langka dan dilindungi.
Pada awal 1980-an, bentang hutan di Riau masih begitu luas, dan Gajah Sumatera hidup bergerombol di sejumlah kantong habitat.
Di wilayah yang kini dikenal sebagai Taman Nasional Tesso Nilo, jumlah mereka masih aman — ratusan Gajah berkeliaran di hamparan hutan dataran rendah yang nyaris tak tersentuh.
Meski belum ada angka khusus untuk Tesso Nilo saja, populasi Gajah Riau saat itu tercatat lebih dari 1.000 individu, dan sebagian besar wilayah jelajahnya masih terhubung tanpa hambatan.
Memasuki awal 2000-an, kondisi mulai berubah. Perusahaan kayu, HTI, dan ekspansi kebun Sawit mulai menggerus ruang hidup satwa.
Pada sekitar 2003, survei lapangan memperkirakan hanya 70–90 individu Gajah yang masih bertahan di kawasan Tesso Nilo dan sekitarnya.
Mereka mulai terdesak ke blok yang semakin sempit, sementara jalur jelajah alami terpotong oleh jalan logging dan permukiman.
Gajah adalah pahlawan konservasi yang menjaga ekosistem.
Kotoran Gajah menebar benih baru untuk tumbuhan sehingga menjaga ekosistem.
Buah yang di makan, bijinya keluar bersama kotorannya kemudian tumbuh menjadi tunas baru.
Namun setelah 2009, tekanan terhadap TNTN meningkat drastis.
Perambahan untuk kebun sawit terjadi besar-besaran.
Hutan menyusut, koridor jelajah hilang, dan konflik manusia–Gajah dan Harimau mulai sering terjadi.
Pada 2012, survei baru menunjukkan populasi menurun kembali menjadi sekitar 120–150 individu. Gajah semakin sering terlihat di ladang, kampung, atau kebun yang baru dibuka.
Antara 2015 hingga 2025, catatan konservasi menampilkan kenyataan yang berat : 23 individu Gajah mati akibat jerat, racun, konflik, dan hilangnya habitat.
Setiap kematian adalah pukulan besar, karena populasi Gajah Sumatera sangat lambat berkembang — seekor induk hanya melahirkan satu anak setiap 4–6 tahun.
Harimau, Badak, Orangutan dan satwa liar lainnya juga menjadi korban.
Memasuki 2025, berbagai laporan pemerintah dan lembaga konservasi menyebutkan populasi Gajah liar yang tersisa di Tesso Nilo hanya sekitar 150 individu.
Hutan semakin terfragmentasi, konflik semakin sering, dan tekanan terhadap habitat belum benar–benar mereda, pupulasi Harimau dan Orangutan, apa lagi Badak menurun drastis karena di buru, di bunuh dan di jerat sebagai hama.
Dari hamparan luas hutan tahun 1980-an hingga kenyataan sempit yang mereka hadapi pada 2025, perjalanan populasi Gajah Tesso Nilo menggambarkan satu cerita panjang.
Penyusutan ruang hidup, menyusutnya jumlah individu, dan perjuangan satwa besar yang terdesak oleh kerakusan manusia.
Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni, Ketua Dewan Ekonomi Nasional Indonesia Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia Bahlil Lahadalia dan Menteri Koordinator Bidang Pangan Indonesia Zulkifli Hasan (Zulhas) Zulkifli Hasan, sebelumnya, dia pernah menjabat sebagai Menteri Kehutanan Republik Indonesia menggantikan Malem Sambat Kaban, dari 22 Oktober 2009 hingga 1 Oktober 2014, adalah orang-orang yang layak diadili dan dimintai pertanggung jawaban.
Zulkifli Hasan pegang rekor sebagai Menteri Kehutanan yang tanda tangani pengalihan fungsi hutan laling banyak, seluas 1.64 Juta Hektar.
Publik dan masyarakat menunggu, apakah hukum di negeri ini masih ada ?
Aparat Penegak Hukum (APH) terutama KPK dan Kejagung apa punya gigi atau hanya Macan Ompong cuma Omon-Omon ?
Percuma kalau hanya berani mengadili masyarakat desa yang mencari kayu kering dalam hutan di tuduh mencuri.
Dari ulasan di atas maka sudah bisa di prediksi, bahwa bencana di Sumatera itu baru pembukaan, berikut bencana akan hadir di Sulawesi, Kalimantan, Jawa Barat, NTT dan Papua.
Kita Nantikan kehadirannya !
Para Rimbawan dan Sahabat Lestari harus tetap bersuara, karena :
“Orang Pandai Diam, Orang Bodoh akan Semena-mena, Orang Baik Diam, Orang Jahat Akan Makin Berkuasa”
26 Individu Badak Jawa dibunuh.
Puluhan Gajah Sumatera dibantai.
Puluhan Harimau Sumatera tewas sia – sia. Belum lagi puluhan jenis satwa liar lainnya.
Ijin pemanfaatan hutan diumbar.
Ijin import dan ijin memelihara satwa liar diobral.
Aparat penegak hukum mandul, pelanggaran kasat mata, sudah seharusnya Polri, Kejaksaan bahkan KPK turun tangan, bukan hanya berpangku tangan.
Tahun 2025 belum genap, terpantau Sebelas individu Gajah Sumatera mati sia – sia.
Pemerintah gagap, negara abai, kita butuh ahli Kehutanan untuk memimpin Kementerian Kehutanan, bukan ahli Ke Tuhanan.
Yang dibutuhkan sosok Raja Hutan, bukan Raja Juli.
Bencana alam, banjir dan tanah longsor adalah jawaban.
Karma itu ada, walau tidak selalu instant.
Selamat memperingati Hari Konservasi Satwa Liar.
Among Satwa Amrih Lestari.
“Kau Peduli, Aku Lestari”
Singky Soewadji
Pemerhati Satwa Liar
Koordinator Aliansi Pecinta Satwa Liar Indonesia (APECSI)
Medio Kamis 4 Desember 2025
Singky Soewadji
Pemerhati Satwa Liar
Koordinator Aliansi Pecinta Satwa Liar Indonesia (APECSI).







