Waisak di Kota Bandung: Umat Buddha Rayakan Damai, Negara Jaga Moderasi?

Avatar photo

Porosmedia.com, Bandung — Kota Bandung kembali membuktikan diri sebagai ruang hidup bersama lintas iman dalam peringatan Hari Raya Waisak 2569 BE / 2025 M. Namun di balik suasana khidmat, pertanyaan muncul: sejauh mana moderasi beragama dijalankan secara sistematis oleh negara, dan bukan sekadar seremoni tahunan?

Rabu, 21 Mei 2025, Pemerintah Kota Bandung menggelar silaturahmi bersama tokoh-tokoh agama Buddha di Pendopo Kota Bandung. Acara ini diposisikan sebagai wujud apresiasi atas kontribusi umat Buddha dalam menjaga iklim keberagaman dan harmoni sosial di tengah tantangan dinamika kota besar.

Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, dalam sambutannya menekankan bahwa Waisak bukan hanya milik umat Buddha, melainkan milik seluruh warga Bandung yang ingin meneguhkan kembali nilai-nilai kemanusiaan universal.

“Waisak adalah momentum reflektif. Nilai-nilai Buddhis seperti metta (cinta kasih), karuna (welas asih), mudita (simpati), dan upekkha (keseimbangan batin) harus dijadikan fondasi sosial kita bersama,” ujar Farhan.

Dengan nada terbuka, ia mengakui bahwa praktik moderasi beragama di Kota Bandung belum sempurna. Namun menurutnya, pengakuan itu justru menjadi titik tolak perbaikan kolektif.

Baca juga:  Menyapa Dengan Senyum Tanpa Perbedaan Ala Satgas 300 Siliwangi di Papua

“Memang belum 100 persen. Tapi justru karena itu, kita harus terus mengusahakan agar moderasi tidak berhenti di tataran konsep, melainkan hidup dalam keseharian masyarakat,” tegasnya.

Dalam pidatonya, Farhan mengingatkan bahwa Bandung bukan sekadar kota besar secara geografis dan ekonomi, tapi juga simbol spiritualitas urban yang harus dijaga.

“Persaudaraan lintas iman bukan opsi, tapi keharusan. Apalagi Bandung sering dijadikan barometer nasional dalam urusan kerukunan,” ujarnya.

Namun tantangan tetap membayang. Kasus intoleransi di sekolah, pelarangan rumah ibadah, hingga bias mayoritas dalam layanan publik kerap menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung tuntas. Dalam konteks inilah, perayaan Waisak harus dibaca sebagai seruan untuk aksi, bukan sekadar basa-basi toleransi.

Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Bandung, Ahmad Suherman, menggarisbawahi pentingnya momen ini sebagai penguat komitmen hidup berdampingan.

“Semoga perayaan ini menghadirkan kedamaian, bukan hanya simbolik, tetapi nyata dalam relasi sosial kita,” ucapnya.

Senada, Penasihat Walubi Kota Bandung, Cong Kiun Long, menyampaikan refleksi mendalam tentang pengendalian diri sebagai jalan damai, mengacu pada tema Waisak 2025.

Baca juga:  Program Kota Bandung Semuanya Mangkrak

“Ada tiga racun dalam diri manusia: emosi, keserakahan, dan kebodohan. Waisak adalah momentum untuk mengatasi itu, baik secara spiritual maupun sosial,” ungkapnya.

Ia pun mengapresiasi keterlibatan Pemerintah Kota Bandung yang terus menggandeng Walubi dalam menjaga kohesi sosial. Tapi, sebagaimana nilai Buddhis mengajarkan kesadaran dan kontemplasi, publik pun diingatkan untuk mengawasi: apakah kehadiran negara dalam urusan kerukunan hanya muncul di hari besar keagamaan?

Waisak 2025 di Bandung bukan hanya peringatan keagamaan. Ia menjadi cermin dari sejauh mana sebuah kota mampu menjadi rumah yang nyaman bagi perbedaan. Pemerintah Kota Bandung mengklaim akan terus mendukung kegiatan keagamaan yang mempererat persaudaraan, termasuk dalam misi kelima RPJMD: Bandung Agamis.

Namun sebagaimana makna sesungguhnya dari Waisak—kelahiran kesadaran, pencerahan, dan pembebasan—kita patut bertanya: apakah negara juga akan lahir kembali dalam bentuk yang lebih adil dan benar-benar plural?