Utang Kampanye, Bumerang Etika, dan Kontrak Sosial Baru

Avatar photo

Porosmedia.com – Masyarakat Bandung, tentunya sangat bangga dan gembira. Tapi sebagian juga ada yang tertunduk, saat itu atas kemenangan Wali Kota Bandung Muhammad Farhan dan Wakil Walikota Kota Bandung H. Erwin terpilih sebagai pasangan yang memimpin kota Kembang.

Tidak lama perjalanan definitif, di kanal berita https://www.suara.com/entertainment/2025/01/02/164801/farhan-tak-malu-jalani-politik-balas-budi-kasih-proyek-usai-jadi-wali-kota-bandung  Farhan menuturkan keluhannya paska kemenangan tersebut.

​Pengakuan Muhammad Farhan—bahwa ia masih terlilit utang usai memenangkan Pilwalkot Bandung—adalah pengakuan jujur yang jujur namun berbahaya. Pernyataan ini bukan sekadar detail finansial pribadi, melainkan manifestasi telanjang dari kegagalan struktural demokrasi kita: tingginya biaya politik yang nyaris mustahil dibiayai tanpa melibatkan kepentingan pihak ketiga.

​Alih-alih sekadar mencela politik balas budi, opini ini harus fokus pada konsekuensi etis dan mekanisme pengawasan yang harus kita bangun sebagai warga negara.

​1. Membedah Ancaman Balas Budi: Bukan Soal Niat, Tapi Sistem

​Isu utama di sini bukanlah niat pribadi Farhan untuk membalas budi, melainkan sistem yang menjebaknya dan menjebak setiap kepala daerah terpilih. Utang kampanye menciptakan apa yang kita sebut “kontrak sosial yang terdistorsi”.

​Kontrak sosial konvensional adalah janji politisi kepada rakyat. Namun, utang kampanye menciptakan kontrak terselubung: janji kepada para kreditur politik. Begitu menjabat, sang Walikota tak hanya melayani 2,5 juta warga Bandung, tetapi juga harus mengelola beban moral dan finansial kepada hanya segelintir donatur yang membiayai kemenangannya.

Baca juga:  IPW desak Polri ambil sampel di SPBU oleh seluruh Polsek se Indonesia

​Ini adalah bumerang etika yang siap dilempar kapan saja. Setiap kebijakan—mulai dari penerbitan izin tata ruang, penunjukan direksi BUMD, hingga tender proyek infrastruktur—akan selalu berada di bawah bayang-bayang pertanyaan: Apakah ini untuk kepentingan publik, atau untuk melunasi utang?

​2. Reformasi Dana Kampanye: Menolak Normalisasi Utang

​Pernyataan Farhan yang “terang-terangan” justru berisiko menormalisasi bahwa utang besar adalah harga yang wajar untuk sebuah jabatan publik. Padahal, utang tersebut adalah penyakit sistemik.

​Pemerintah pusat, melalui KPU dan DPR, harus didorong untuk merombak total skema pendanaan kampanye. Solusi yang berani (yang jarang diangkat di media mainstream) adalah:

  • Peningkatan Subsidi Negara yang Signifikan: Negara harus menanggung sebagian besar biaya dasar kampanye (misalnya, melalui slot iklan publik dan fasilitas cetak) untuk secara drastis mengurangi ketergantungan kandidat pada donatur besar.
  • Insentif Pajak untuk Donasi Kecil: Mendorong donasi dari ribuan warga kecil melalui insentif pajak, sehingga patronase datang dari rakyat, bukan dari konglomerat.

​Jika biaya berdemokrasi tetap mahal, maka hanya individu atau kelompok yang didukung modal besarlah yang akan memimpin, menjadikan jabatan publik sebagai komoditas investasi, bukan amanah.

Baca juga:  Partai Negoro tercetus saat Reformasi Mahasiswa tahun 1998

​3. Peran Pengawasan Warga (Wacthdog): Dari Keterbukaan ke Akuntabilitas

​Keterbukaan Farhan adalah kesempatan, bukan akhir dari diskusi. Masyarakat Bandung dan lembaga watchdog kini memegang kunci. Fokus pengawasan harus beralih dari sekadar menanyakan berapa utangnya, menjadi mengawasi kebijakan apa yang dikeluarkan.

  • Audit Kritis Kebijakan: Setiap Walikota Farhan mengeluarkan kebijakan strategis, terutama yang berkaitan dengan aset daerah, perizinan, dan penunjukan pejabat, wajib dianalisis secara kritis: Siapa penerima manfaat utamanya?
  • Transparansi Daftar Kreditur: Walikota secara moral dan etis harus melangkah lebih jauh dari kewajiban hukum. Ia harus secara sukarela mengumumkan kepada publik daftar semua kreditur atau donatur besar yang pinjamannya belum lunas. Ini adalah satu-satunya cara untuk membuktikan bahwa ia siap diawasi dan tidak akan tunduk pada politik balas budi.

​Jika Farhan serius dengan integritas, transparansi penuh atas sumber utang adalah satu-satunya cara untuk memutus spekulasi dan membuktikan bahwa ia adalah pelayan publik, bukan manajer investasi bagi para krediturnya. Masyarakat Bandung harus menuntut kontrak sosial yang direvitalisasi: Walikota berjanji tidak akan membalas budi, dan masyarakat berjanji akan mengawasi setiap gerak-geriknya.

Baca juga:  Wali Kota Bandung Berharap Perguruan Tinggi Ikut Andil Tuntaskan Masalah Sampah

Disclaimer Hukum: Opini ini merupakan analisis etika dan sistemik berdasarkan informasi publik dan tidak menuduh Walikota terpilih Muhammad Farhan melakukan pelanggaran hukum atau korupsi. Fokus utamanya adalah mendesak reformasi struktural dan meningkatkan pengawasan publik.

Foto : Istimewa

Sudrajat|Porosmedia