Usulan Pemakzulan Gibran: Gerakan Konstitusional atau Sinyal Krisis Legitimasi?

Avatar photo

Porosmedia.com, Jakarta – Langkah Forum Purnawirawan Prajurit TNI yang mengusulkan pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka ke DPR dan MPR menuai reaksi luas. Bukan sekadar kontroversi politis, tindakan ini menyingkap dimensi lebih dalam: kegelisahan moral dan etika terhadap proses demokrasi yang dinilai tercemar sejak awal pencalonan Gibran sebagai cawapres.

Pakar hukum tata negara dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, memandang inisiatif purnawirawan TNI ini sebagai bentuk aspirasi politik yang sah secara konstitusional dan mencerminkan etika demokrasi yang sehat. Dalam podcast “Terus Terang Mahfud MD”, ia menyatakan, “Lebih elegan karena dilakukan secara resmi, bukan sembunyi-sembunyi atau lewat provokasi digital yang membingungkan publik.”

Mahfud juga menekankan bahwa purnawirawan tetaplah warga negara yang sah menyuarakan kritik terhadap arah pemerintahan. “Dalam hal politik, mereka bisa berbuat sendiri. Dan itu sah,” ujarnya.

Surat resmi yang dikirim Forum Purnawirawan ke DPR-MPR-DPD pada 26 Mei 2025 itu menyoroti sumber legitimasi Gibran yang mereka anggap cacat sejak awal. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 menjadi pangkal sengketa, karena dianggap melanggar prinsip imparsialitas. Putusan tersebut diketok oleh Ketua MK saat itu, Anwar Usman, yang tak lain adalah paman Gibran.

Baca juga:  NIPPO Corporation Terlambat Notifikasi, KPPU Denda 1 Miliar

Lebih jauh, mereka menyebut Gibran tidak pantas menduduki posisi wapres secara etis maupun kapasitas. Hanya berbekal dua tahun pengalaman sebagai Wali Kota Solo dan latar pendidikan yang dinilai minim, Gibran dianggap belum memiliki kualitas kenegarawanan yang memadai untuk mendampingi presiden dalam memimpin negara.

Respons elite politik terhadap usulan pemakzulan ini sejauh ini cenderung adem-ayem namun waspada. PDI-P mulai menyentil soal pidato Prabowo tentang “persatuan”, sementara Golkar menegaskan bahwa hubungan Prabowo dan Gibran tetap solid. Namun, pernyataan resmi dari pimpinan DPR maupun MPR soal kelanjutan surat pemakzulan itu belum muncul ke publik.

Sebaliknya, kelompok pro-rezim seperti Projo mengecam surat itu sebagai tidak penting dan provokatif. Pernyataan ini tentu menunjukkan betapa sensitifnya isu legitimasi Gibran di tengah masyarakat sipil yang makin terbelah.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah usulan ini hanya suara minoritas pensiunan yang kecewa, atau sinyal awal retaknya fondasi kekuasaan pasca-Pilpres 2024 yang kontroversial?

Sejumlah analis politik menilai bahwa langkah para purnawirawan ini bukan gerakan sporadis, melainkan bentuk artikulasi keresahan moral kelompok elit yang selama ini dikenal patuh pada stabilitas nasional. Jika para purnawirawan TNI—yang pada masa Orde Baru kerap menjadi benteng kekuasaan—kini bersuara lantang, maka ini bisa ditafsirkan sebagai indikator retaknya legitimasi kekuasaan dari dalam.

Baca juga:  Kualitas Ketertiban Umum Memburuk, Penegak Hukum Wajib Bersikap Tegas

Sebagian publik melihat usulan pemakzulan ini sebagai tes lakmus bagi DPR dan MPR: apakah masih mampu menjalankan fungsi pengawasan, atau telah menjadi instrumen pembenaran status quo. Seperti ditegaskan Mahfud, demokrasi memberi ruang untuk menyampaikan kritik dan menggugat jabatan publik secara legal. Namun ruang ini akan menjadi semu jika institusi negara tidak bersedia mendengarkan, apalagi menindaklanjuti.

Krisis kepercayaan terhadap proses politik sejak Pilpres 2024 tampaknya belum reda. Kasus Gibran adalah representasi dari problem struktural yang lebih dalam: pembajakan konstitusi oleh kekuasaan, pembiaran terhadap konflik kepentingan, serta pengebirian partisipasi rakyat lewat manipulasi aturan.

Usulan pemakzulan ini boleh jadi tidak akan langsung mengguncang posisi Gibran. Namun, ia telah membuka pintu diskursus yang lebih dalam tentang moralitas kekuasaan dan kualitas demokrasi Indonesia.

Bola kini ada di tangan DPR dan MPR. Mampukah mereka membuktikan bahwa lembaga legislatif bukan sekadar pelengkap formal demokrasi elektoral, melainkan benteng konstitusi yang setia pada akal sehat rakyat?