Porosmedia.com, Kab. Bandung Barat – Kini menjadi sorotan tajam publik Jawa Barat. Krisis tata kelola pemerintahan yang berkepanjangan seolah tak kunjung menemukan ujung penyelesaian.
Masalah demi masalah silih berganti—mulai dari persoalan moralitas aparatur, kekacauan administrasi, hingga penyalahgunaan kewenangan—menciptakan kesan bahwa KBB dikelola bukan sebagai lembaga publik, melainkan seperti perusahaan pribadi.
Kondisi ini sangat berbahaya bagi keberlangsungan pemerintahan daerah jika tidak segera ditangani secara menyeluruh dan tegas. Kepemimpinan Bupati yang relatif baru, dengan pengalaman yang masih terbatas dalam manajemen pemerintahan, tampak belum mampu menghadirkan stabilitas dan arah yang jelas. Ironisnya, ada indikasi bahwa pejabat struktural tertentu, termasuk Sekretaris Daerah (Sekda), justru memainkan peran dominan yang tidak proporsional sehingga memperlemah fungsi kontrol dan koordinasi antar pimpinan daerah.
Situasi ini tidak bisa dibiarkan. Pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri, serta aparat penegak hukum (APH) seperti KPK, Kejaksaan, dan Polda Jawa Barat, harus turun tangan melakukan pengawasan dan penindakan tegas. Penegakan hukum tidak boleh terkesan “tumpul ke atas, tajam ke bawah.”
Tugas utama pemerintah daerah adalah menjalankan pelayanan publik dan pembangunan, bukan menjadi ladang kepentingan kelompok atau individu tertentu. Karena itu, penyelamatan tata kelola KBB menjadi keharusan.
Langkah-langkah strategis yang perlu segera dilakukan antara lain:
1. Identifikasi Akar Masalah – Lakukan audit menyeluruh terhadap aspek kelembagaan, keuangan, dan sumber daya manusia di lingkungan Pemkab Bandung Barat untuk mengetahui sumber utama krisis.
2. Kolaborasi Semua Pihak – Libatkan DPRD, masyarakat sipil, akademisi, dan lembaga pengawas independen dalam merumuskan solusi konkret.
3. Transparansi dan Akuntabilitas – Publikasikan laporan keuangan, hasil pengawasan, serta tindak lanjut temuan pelanggaran secara terbuka kepada publik.
4. Pengambilan Keputusan Berbasis Kepentingan Publik – Setiap kebijakan daerah harus berpijak pada kebutuhan masyarakat, bukan pada transaksi politik atau kepentingan kelompok.
Pemerintah provinsi bersama Kemendagri perlu menginisiasi rapat koordinasi lintas instansi, membentuk tim kerja independen, dan memperkuat komunikasi publik agar masyarakat memahami perkembangan penyelesaian kasus di KBB secara transparan.
Langkah ini bukan hanya penting untuk memulihkan kepercayaan publik, tetapi juga untuk memastikan pemerintahan tetap berjalan efektif tanpa jeda kekuasaan yang bisa menimbulkan kekosongan kebijakan.
Hingga kini, beberapa aktivis dan masyarakat pemerhati KBB telah menyampaikan laporan ke KPK maupun aparat hukum lainnya terkait dugaan penyalahgunaan wewenang dan potensi tindak pidana korupsi. Namun, proses hukum yang berjalan lamban memunculkan tanda tanya besar di tengah masyarakat.
Jika benar ada indikasi korupsi, tidak ada alasan bagi APH untuk menunda tindakan hukum. Gerak cepat dan tepat (Gercep) adalah tuntutan publik hari ini. Tidak boleh ada ruang bagi kompromi terhadap kejahatan tata kelola.
Beberapa faktor yang diduga memperlambat proses penegakan hukum antara lain:
Keterlibatan pihak berpengaruh atau berkuasa yang dapat mempersulit proses penyelidikan;
Kompleksitas kasus yang melibatkan banyak aktor dan dokumen administratif;
Prioritas penanganan KPK yang terbagi terhadap sejumlah kasus nasional besar lainnya.
Namun, alasan tersebut tidak dapat dijadikan pembenaran untuk membiarkan dugaan pelanggaran di KBB berlarut-larut.
Masyarakat berhak memantau jalannya penyidikan dan meminta pertanggungjawaban lembaga hukum. Beberapa langkah konkret yang bisa dilakukan publik antara lain:
Mengawasi proses hukum melalui pelaporan berkala dan keterbukaan data publik;
Menghubungi KPK atau Ombudsman RI jika menemukan dugaan maladministrasi atau ketidakpatuhan prosedural;
Menggelar aksi damai atau forum aspiratif untuk menyuarakan desakan penegakan hukum tanpa kekerasan;
Mengajukan gugatan hukum jika terdapat pelanggaran terhadap hak publik atau pelayanan pemerintahan.
APH dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat harus menunjukkan keberpihakan kepada keadilan dan kepentingan rakyat. Jangan ada lagi praktik “tebang pilih” dalam penindakan kasus. Hukum harus berjalan objektif, profesional, dan transparan.
Dengan demikian, penyelesaian krisis di Kabupaten Bandung Barat tidak hanya akan menjadi momentum penegakan hukum, tetapi juga menjadi ujian integritas bagi seluruh lembaga negara—mulai dari daerah hingga pusat—dalam menegakkan prinsip good governance di Indonesia.
Semoga langkah-langkah ini menjadi titik balik menuju pemerintahan yang lebih bersih, beradab, dan berpihak kepada rakyat.
R. Wempy Syamkarya
Pengamat Kebijakan Publik dan Politik