Transparan Tapi Belum Optimal: Laporan Pertanggungjawaban APBD 2024 Kota Bandung Dipertanyakan

Avatar photo

Porosmedia.com, Bandung – Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, menyampaikan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD Tahun Anggaran 2024 dalam Rapat Paripurna DPRD Kota Bandung, Selasa (24/6/2025). Farhan mengklaim bahwa pengelolaan keuangan Pemerintah Kota Bandung telah memenuhi prinsip transparansi dan akuntabilitas, bahkan memperoleh Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK RI Perwakilan Jawa Barat.

Namun, di balik pujian dan angka yang disampaikan, sejumlah indikator kinerja fiskal Pemkot Bandung tetap menyisakan ruang kritis yang perlu dicermati publik secara lebih mendalam.

Secara umum, realisasi pendapatan daerah tahun 2024 mencapai Rp7,15 triliun dari target Rp7,44 triliun atau 96,03 persen. Namun jika dilihat lebih dekat, komponen Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya mencapai 89,6 persen dari target Rp3,44 triliun. Ini menandakan ketergantungan terhadap pendapatan transfer pusat masih sangat tinggi, yang justru terealisasi melebihi target, yakni Rp4,05 triliun dari target Rp3,99 triliun (101,56%).

Kondisi ini mengindikasikan bahwa kemandirian fiskal Kota Bandung belum kokoh, meskipun geliat ekonomi pasca pandemi telah membaik.

Baca juga:  Ketua Umum FABEM Zainuddin Arsyad: Candaan Gus Miftah Tak Searah Dengan Misi Presiden Prabowo yang Cinta Terhadap Rakyat Kecil

Realisasi belanja daerah tercatat hanya 86,89 persen dari anggaran Rp8,13 triliun. Artinya, terdapat sekitar Rp1 triliun anggaran publik yang tidak terserap, menimbulkan pertanyaan serius tentang efektivitas pelaksanaan program-program pembangunan dan pelayanan publik.

Serapan belanja yang rendah lazimnya disebabkan oleh dua faktor: perencanaan yang lemah atau realisasi proyek yang tersendat, keduanya mencerminkan persoalan tata kelola yang belum terselesaikan secara struktural.

Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) per akhir tahun 2024 mencapai Rp770,69 miliar, naik dari yang diproyeksikan sebesar Rp689,26 miliar. Meski ini bisa dianggap sebagai bentuk efisiensi, di sisi lain ini justru bisa menandakan program-program prioritas tidak terlaksana maksimal, padahal masyarakat menghadapi berbagai tantangan mulai dari infrastruktur dasar, kemiskinan kota, hingga pengangguran terselubung.

Pertanyaannya: apakah uang rakyat hanya disimpan, bukan dimanfaatkan optimal untuk kesejahteraan?

Farhan menyebut opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK sebagai bentuk keberhasilan tata kelola keuangan. Namun perlu ditegaskan bahwa WTP hanya menunjukkan aspek kepatuhan administratif, bukan kualitas output dan dampak pembangunan di lapangan.

Baca juga:  Penutupan Jalan Tikus salah satu Jawaban dari Maraknya Penyeludupan Narkoba

Banyak daerah yang mendapatkan WTP, tetapi rakyatnya tetap bergulat dengan jalan rusak, birokrasi lamban, dan layanan dasar yang compang-camping.

Farhan menutup laporannya dengan ucapan terima kasih kepada DPRD atas dukungannya. Namun publik menunggu evaluasi yang lebih kritis dari legislatif, bukan sekadar seremonial tahunan. DPRD memiliki kewajiban menggali lebih dalam ke mana arah kebijakan anggaran Kota Bandung dan bagaimana implikasinya bagi warga kota.

Mendapatkan WTP atau menampilkan angka serapan yang tinggi bukan tujuan akhir pengelolaan APBD. Tujuan sesungguhnya adalah menyejahterakan rakyat melalui penggunaan anggaran yang efisien, tepat sasaran, dan berdampak nyata.

Tanpa itu semua, pertanggungjawaban APBD hanya menjadi laporan formalitas tahunan—tanpa makna substantif bagi publik.