Tito & Bobby Salah Baca Peta: Muzakir Manaf dan Memori Aceh yang Tak Bisa Dipindah

Avatar photo

“Empat Pulau Bisa Dipindah di Atas Peta, Tapi Aceh Tidak Bisa Dipindah dari Sejarah”

Oleh: Amin

Porosmedia.com – Pemerintah pusat kembali bermain peta. Lewat tangan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan dengan bayang-bayang langkah politis Bobby Nasution, upaya untuk menggeser batas wilayah Aceh kini menjadi kenyataan administratif. Empat pulau — Panjang, Lipan, Mangkir Besar, dan Mangkir Kecil — dipindahkan ke Sumatera Utara melalui Keputusan Mendagri tahun 2022 dan 2025.

Bagi sebagian kalangan di Jakarta, ini mungkin cuma urusan teknis. Namun bagi Aceh, ini adalah penistaan terhadap memori kolektif dan luka sejarah yang belum sepenuhnya pulih. Karena Aceh, lebih dari sekadar provinsi, adalah perjanjian. Adalah darah yang telah ditumpahkan untuk sebuah kehormatan bernama Helsinki.

Sudah terlalu sering pemerintah pusat menyederhanakan Aceh. Mereka berpikir, cukup dengan:

Revisi peta dari balik meja kementerian

Rapat-rapat birokrasi tanpa legitimasi lokal

Kompromi elite yang tak menyentuh akar sejarah

Padahal, Aceh tak bisa dibaca dengan logika administratif semata. Jakarta seakan lupa bahwa Aceh punya pengalaman panjang diperlakukan sebagai objek, bukan subjek. Ketika sejarah menjadi luka, maka setiap garis batas adalah simbol yang bisa membakar ulang bara yang belum padam.

Nama Muzakir Manaf bukan asing di Aceh. Ia bukan sekadar tokoh politik lokal atau kepala partai. Ia adalah mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM), bagian dari arsitek damai Helsinki yang menutup lembaran perang 29 tahun dengan kehormatan — bukan dengan kekalahan.

Bagi Muzakir, empat pulau yang kini ingin “dipindahkan” itu bukanlah sekadar daratan kosong. Mereka adalah simbol dari kehormatan Aceh. Mengusik wilayah itu berarti mengusik ruh perjanjian Helsinki yang diteken pada 15 Agustus 2005.

Helsinki bukan cuma dokumen damai. Ia adalah jembatan antara kekerasan dan peradaban. Salah satu pasalnya menyebut jelas bahwa Aceh berhak mengatur wilayahnya sendiri berdasarkan batas administratif per 1 Juli 1956.

Jadi, ketika pemerintah pusat mengeluarkan Kepmendagri untuk mengubah batas wilayah tanpa melibatkan Aceh, itu bukan hanya pelanggaran administratif — tapi pelanggaran moral dan politis atas MoU yang diakui internasional.

Jusuf Kalla, mediator utama dalam proses damai Helsinki, tak tinggal diam. Dalam pernyataannya, ia menegaskan bahwa Kepmendagri itu cacat formil.

“MoU Helsinki merujuk batas administratif 1956. Tidak bisa diubah sepihak oleh menteri. Ini bisa merusak komitmen damai.”

Pernyataan JK adalah sinyal kuat bahwa Jakarta sedang menabuh genderang politik yang bisa mengguncang stabilitas wilayah.

Tito Karnavian, mantan Kapolri yang pernah bersentuhan langsung dengan Aceh, kini terlihat mengabaikan sensitivitas historis daerah tersebut. Ia mencoba menerapkan logika hukum pusat ke tanah yang dibentuk oleh perjanjian politik.

Sementara Bobby Nasution — yang mulai menapaki jalur politik nasional — tampak memanfaatkan momen ini sebagai batu loncatan, tanpa memahami betapa berbahayanya bermain-main dengan batas Aceh.

Kesalahan mereka? Mereka berpikir Aceh bisa ditangani seperti Sumatera Utara. Padahal Aceh bukan sekadar wilayah — tapi entitas politik dan historis yang punya memori kolektif yang hidup.

Jika pusat terus mengabaikan substansi perjanjian Helsinki dan menggampangkan batas wilayah sebagai urusan administratif, maka yang dibangkitkan bukan sekadar konflik kecil, tapi potensi perlawanan politik yang dalam.

“Jakarta boleh menang di kertas. Tapi Aceh punya memori darah.”

Tito dan Bobby salah langkah — lebih dari itu, salah membaca. Karena Muzakir Manaf bukan orang yang bisa diperlakukan sebagai pemain pinggiran. Ia mewakili memori kolektif Aceh yang tidak akan diam bila harga diri mereka diinjak.

 

Baca juga:  Fanshurullah Asa Siap Bantu KPK Bongkar Korupsi Niaga Gas:" Ini saatnya Benahi Mafia Energi"