Porosmedia.com, Bandung – Tiga kabar yang mengguncang jagat sepak bola nasional dalam sepekan terakhir datang dari satu sumber yang sama: Timnas Indonesia. Pertama, protes negara Timur Tengah soal keputusan AFC menetapkan Indonesia sebagai tuan rumah babak keempat Kualifikasi Piala Dunia 2026. Kedua, pamitnya kiper naturalisasi Maarten Paes. Dan ketiga, kekalahan telak dari Jepang yang sekaligus “membenarkan” pernyataan Komjen (Purn) Sumardji bahwa skuad Garuda belum siap menantang elite Asia.
Ketiganya—disadari atau tidak—adalah potret buram dari euforia yang terlalu dini dan sistem pengelolaan sepak bola yang belum siap menerima tekanan level dunia.
1. Tuan Rumah yang Dipertanyakan: Diplomasi Lemah di Meja AFC?
Protes negara Timur Tengah atas penunjukan Indonesia sebagai tuan rumah Round 4 mengindikasikan bahwa keputusan AFC bukan tanpa kontroversi. Dalam dunia olahraga internasional, penunjukan tuan rumah bukan hanya soal stadion megah dan logistik, tetapi juga soal lobi politik, kredibilitas federasi, dan kestabilan.
Jika Indonesia benar ditunjuk karena prestasi dan kesiapan, maka AFC perlu tegas. Namun jika penunjukan ini lahir dari keputusan politik atau kompromi, maka protes dari negara lain sangat valid.
PSSI harus belajar, bahwa dalam forum-forum besar AFC atau FIFA, yang berbicara bukan sekadar hasil pertandingan, melainkan kekuatan diplomatik, konsistensi tata kelola, dan track record integritas.
2. Maarten Paes Pamit: Naturalisasi Bukan Solusi Instan
Kepindahan Maarten Paes ke Timnas Indonesia sempat diwarnai harapan besar. Ia dianggap jawaban atas kelemahan di sektor penjaga gawang. Namun realitasnya, seperti para pemain naturalisasi lainnya, Paes tidak mendapatkan ekosistem profesional yang membuatnya bertahan.
Ketika seorang pemain bertaraf Eropa datang dan melihat sistem yang semrawut, inkonsisten, dan sarat intervensi, dia akan pergi. Bukan karena tak cinta, tapi karena tak kuat menghadapi kekacauan struktural yang disamarkan dengan patriotisme semu.
Naturalisasi adalah jalan pintas, bukan jalan keluar. Jika sistem pembinaan usia dini, kompetisi nasional, dan manajemen klub masih seperti sekarang, pemain hebat pun akan menjauh.
3. Omongan Sumardji dan Kekalahan dari Jepang: Euforia yang Terlalu Cepat Naik
Kekalahan telak dari Jepang bukan aib. Yang menjadi masalah adalah narasi publik yang terlalu percaya bahwa Indonesia “siap” bersaing di level atas Asia, padahal infrastruktur teknis dan mental tim masih dalam tahap awal pertumbuhan.
Omongan Sumardji soal kesiapan Timnas—yang sempat disanggah banyak pihak—ternyata justru terlihat sebagai refleksi realitas. Bukan pesimistis, tapi realistis.
Kekalahan dari Jepang menunjukkan bahwa meskipun semangat dan talenta muda kita menjanjikan, kedalaman taktik, stamina pertandingan, dan konsistensi level tinggi belum terbentuk. Ini bukan soal individu, tapi sistem.
Masyarakat Indonesia berhak bangga dengan pencapaian Timnas sejauh ini, tetapi federasi jangan tenggelam dalam pujian semu. Setiap kritikan dari luar negeri, setiap pemain yang pergi, setiap kekalahan telak, adalah cermin bahwa masih banyak yang harus dibenahi.
Tugas PSSI bukan hanya membangun stadion atau menaturalisasi pemain. Tugas utamanya adalah membangun sistem yang profesional, berkelanjutan, dan meritokratis. Jika ini tidak dilakukan, maka protes AFC, kepergian Paes, dan kekalahan dari Jepang akan terus berulang dalam wajah dan judul yang berbeda.
Sepak bola bukan sekadar skor. Ia adalah cermin manajemen, karakter bangsa, dan keberanian untuk bercermin pada realitas.
–