“Tertawa di Atas Luka: Mengapa Janda Kerap Jadi Sasaran Candaan Laki-Laki?”

Avatar photo

Porosmedia.com, Bandung – “Eh, hati-hati! Nanti digondol janda, loh.”
Kalimat itu terdengar ringan. Seolah hanya lelucon. Tapi bagi sebagian perempuan yang menyandang status janda, itu bisa terasa seperti belati yang menggores perlahan: sakit, getir, dan lama sembuhnya.

Candaan tentang janda sudah menjadi semacam “lelucon publik” di berbagai ruang sosial, dari tongkrongan jalanan, panggung lawak, hingga meme viral di media sosial. Lucu bagi sebagian, namun sesungguhnya mencerminkan konstruksi sosial yang bias dan patriarkal.

Menurut sosiolog Universitas Indonesia, Dr. Ida Ruwaida (2021), status janda sering kali dikonstruksikan sebagai “beban moral” dalam masyarakat patriarkal. “Janda kerap dicurigai, dianggap menggoda suami orang, atau dinilai tidak bisa menjaga kehormatan,” ujar Ida. Padahal, kenyataannya, banyak perempuan menjadi janda karena ditinggal mati, kekerasan dalam rumah tangga, atau perceraian yang tidak adil.

Stigma itu diturunkan dari generasi ke generasi. Masyarakat tradisional Jawa, misalnya, menyematkan label “janda kembang” sebagai gambaran wanita yang menggoda dan harus diwaspadai. Label ini sering direproduksi dalam budaya populer, termasuk sinetron dan panggung hiburan, hingga tertanam sebagai candaan harian.

Baca juga:  Peringati BLA, Bambang Ajak Pemuda Tunjukan Empati dan Solidaritas Kepada Palestina

Dalam sebuah studi oleh Komnas Perempuan (2020), 8 dari 10 janda yang diwawancarai mengaku sering menjadi sasaran komentar atau candaan yang merendahkan—baik di tempat kerja, lingkungan tetangga, maupun media sosial. Candaan semacam itu sering mengandung stereotip seksual: bahwa janda lebih “berani”, “bebas”, dan “berpengalaman”.

“Ini bentuk kekerasan verbal yang sudah dibungkus humor. Kita anggap sepele, padahal merusak mental korban dan menciptakan ruang sosial yang tidak sehat,” kata Andy Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan.

Candaan terhadap janda juga merupakan bentuk objektifikasi perempuan: melihat mereka bukan sebagai manusia utuh, tetapi sebagai simbol keinginan, atau ancaman bagi hubungan rumah tangga orang lain.

Budaya lawak televisi di era 90-an hingga kini tidak lepas dari penggambaran janda sebagai bahan lelucon. Acara seperti “Srimulat” dan berbagai tayangan sketsa komedi kerap menampilkan karakter janda yang centil, menggoda, dan mata duitan.

Media, alih-alih merekonstruksi narasi janda sebagai sosok kuat dan tangguh, justru memperkuat stigma lama.

“Padahal banyak janda yang menjadi kepala keluarga, pendidik, aktivis, dan pengusaha sukses. Tapi media lebih senang mengeksploitasi sisi sensasionalnya,” tegas Najwa Shihab dalam sebuah diskusi tentang perempuan dan media (2022).

Baca juga:  Jaga Kelestarian Lingkungan Babinsa Kalidawir Bersama Warga, Tanam Pohon Trembesi Di Sumber Air

Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 mencatat lebih dari 7 juta perempuan di Indonesia berstatus janda. Dari jumlah tersebut, sebagian besar adalah tulang punggung keluarga. Di Jawa Barat saja, program pemberdayaan ekonomi perempuan di Cianjur dan Tasikmalaya menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku UMKM perempuan adalah janda yang mandiri dan produktif.

Siti Nurjanah (43), janda asal Garut, adalah contoh nyata. Sejak suaminya meninggal akibat kecelakaan kerja, ia membesarkan tiga anaknya seorang diri. Kini, ia menjadi pengusaha kripik tempe yang memasok ke supermarket lokal.

“Waktu saya mulai jualan, banyak yang ngomongin: ‘Janda dagang keliling, cari perhatian kali ya.’ Tapi saya tutup kuping. Yang penting anak-anak bisa sekolah,” ujar Siti.

Psikolog sosial dari Universitas Padjadjaran, Dr. Asep Suryana, menekankan pentingnya literasi gender untuk mengubah cara pandang masyarakat. “Humor yang sehat tidak perlu mengorbankan martabat orang lain. Kita bisa belajar tertawa tanpa menyakiti,” katanya.

Mengubah candaan tentang janda menjadi penghormatan terhadap perjuangan mereka adalah tugas bersama. Laki-laki perlu menyadari bahwa status janda bukan bahan tertawaan, tapi pintu bagi banyak perempuan menuju kebebasan, keberanian, dan kematangan diri.

Baca juga:  Harga Saham Net TV (NETV) Melonjak Pasca Tiga Hari Melantai di BEI

Candaan tentang janda bukan sekadar lelucon. Ia menyimpan luka sejarah, represi budaya, dan jejak diskriminasi. Jika laki-laki ingin dianggap dewasa, maka cara mereka bercanda tentang perempuan adalah tolak ukurnya.

Sudah saatnya kita berhenti tertawa di atas penderitaan. Sebab, di balik kata “janda”, ada kehidupan yang terus diperjuangkan, bukan untuk ditertawakan—tetapi untuk dihargai.

Referensi

Komnas Perempuan. (2020). Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan

Dr. Ida Ruwaida, UI. (2021). Diskusi Publik: Gender dan Stereotip Sosial

BPS. (2023). Statistik Penduduk Berdasarkan Status Perkawinan

Diskusi Media dan Perempuan bersama Najwa Shihab, 2022.

Wawancara langsung dengan Siti Nurjanah (Garut), Juni 2025.