Tersangka di Usia Senja: Dahlan Iskan dan Gugatan yang Tak Pernah Disangka

Avatar photo

Porosmedia.com – Pagi itu, sebuah pesan WhatsApp masuk ke gawai Dahlan Iskan. Jam menunjukkan pukul 10.12 WIB. Pengirimnya, Nanda Aria, seorang jurnalis dari Tirto.id, menanyakan soal gugatan terhadap Jawa Pos—media yang selama puluhan tahun melekat dengan nama besar Dahlan.

Kala itu, Dahlan belum membaca pesan itu. Ia baru menjawab dini hari, pukul 02.44. “Saya tidak pernah menyimpan dokumen perusahaan di rumah. Semua saya tinggal di kantor. Sekarang saya perlu dokumen-dokumen itu, dan sudah saya minta secara baik-baik, tapi tidak diberi,” tulis Dahlan dalam pesannya. “Pengacara saya mengajukan gugatan karena saya berhak mendapatkannya sebagai salah satu pemegang saham.”

Yang mengejutkan: perkara ini membawanya berurusan dengan polisi, untuk kasus yang terjadi hampir seperempat abad lalu.

“Siapa sebenarnya pemilik Tabloid Nyata?” Itulah pertanyaan kunci yang membawa Dahlan harus memberi keterangan panjang di hadapan penyidik.

Bagi publik, ini mungkin kabar yang tak terduga. Nama Dahlan Iskan begitu identik dengan Jawa Pos—sebuah media raksasa yang ia bangun nyaris dari titik nol. “Jawa Pos adalah Dahlan Iskan, dan Dahlan Iskan adalah Jawa Pos,” tulis salah satu media pernah memujinya. Tak sedikit yang menganggapnya sebagai sosok pers legendaris yang membesarkan ekosistem media daerah menjadi nasional.

Baca juga:  Trading in influence antara GY, KP dan GRR, bahkan sampai ke JW

Namun kenyataan berubah. Setelah lebih dari 15 tahun meninggalkan kursi utama di manajemen Jawa Pos, Dahlan kini harus kembali menggali ingatannya soal kepemilikan saham dari sebuah tabloid yang sudah lama tak lagi ia urusi secara langsung. Tak ada yang menyangka, termasuk dirinya sendiri, bahwa pada usia 74 tahun ia harus menghadapi perkara hukum seperti ini.

“Yang juga tidak pernah saya sangka adalah: saya berurusan dengan polisi di usia saya yang 74 tahun,” tulisnya di platform pribadinya, Disway.

Dahlan tak sedang membual ketika menyebut hidupnya nyaris diabdikan untuk Jawa Pos. Ia bekerja 16 jam sehari, berangkat dini hari, pulang larut malam, bahkan ketika tubuhnya dihajar penyakit liver hingga harus menjalani transplantasi hati di Tianjin, Tiongkok.

Dalam dua dekade pertama, ia bukan hanya jurnalis, tapi juga manajer, agen, bahkan pekerja percetakan. Semua peran dijalani. Dan dari sebuah koran kecil di Surabaya, Jawa Pos menjelma menjadi konglomerasi media dengan ratusan anak perusahaan di seluruh Indonesia.

Baca juga:  Bergaya Arsitektur Tionghoa, Masjid Lautze 2: Pusat "Log In" di Kota Bandung

Namun semua berubah ketika ia dipanggil negara untuk memimpin PLN. Sebagai pejabat BUMN, ia harus melepaskan jabatan eksekutif di Jawa Pos. “Saya kira saya hanya akan meninggalkan sebentar, lalu kembali. Ternyata saya tidak pernah bisa kembali,” ujarnya.

Saat ia kembali dari PLN, struktur perusahaan sudah berubah. Pemegang saham mayoritas yang dulu hanya mengawasi dari jauh, kini memegang kendali penuh. Dahlan ditawari posisi komisaris biasa—bukan komisaris utama. Tawaran itu ditolaknya. Sejak itulah, ia benar-benar melepaskan diri dari Jawa Pos, meski publik masih sering menyapanya sebagai ‘bos koran’.

Kepemilikan saham yang Dahlan miliki berasal dari “hadiah”—bukan dari investasi. Eric Samola, tokoh utama di balik PT Grafiti Pers, memberikannya sebagai bentuk penghargaan atas kesuksesan membesarkan Jawa Pos. Uang pembelian awal Jawa Pos pun dikembalikan sepenuhnya oleh tim Dahlan dari hasil kerja keras mereka selama dua tahun pertama.

Namun tak semua entitas media yang pernah dipimpin Dahlan otomatis menjadi milik Jawa Pos Group. Termasuk Tabloid Nyata. Inilah akar persoalan yang kini menjadi perkara perdata di PN Surabaya—sengketa kepemilikan saham media hiburan legendaris itu.

Baca juga:  MEMBONGKAR Kotak Pandora bernama SIREKAP

“Sidang perdatanya sedang berlangsung. Tapi tiba-tiba saya diberitakan jadi tersangka,” kata Dahlan, menyiratkan keheranan dan kesedihan.

Yang paling disesalkan Dahlan bukan perkara hukum itu sendiri. Melainkan kenyataan bahwa sejarah panjang dan hubungan emosionalnya dengan institusi yang ia bangun kini menyusut menjadi sebuah gugatan hukum.

Di balik narasi keras ini, ada kesunyian personal yang terdengar dari antara baris-baris kalimat Dahlan: kerinduan akan kejujuran sejarah, tentang loyalitas, dan tentang identitas dirinya yang sejak muda menyatu dengan tinta, berita, dan kerja keras.

“Sebenarnya saya tidak ingin menulis ini di Disway. Kesannya saya memanfaatkan Disway. Tapi pertanyaan pembaca datang bertubi-tubi, dan saya tidak bisa menjawab satu per satu,” tutupnya.

Catatan Akhir

Hukum adalah proses. Dan sejarah kadang harus bersaing dengan dokumen. Tapi publik tahu, sejarah tidak pernah bisa dipalsukan: bahwa Dahlan Iskan adalah bagian dari napas panjang pers Indonesia. Sekalipun kini ia duduk sebagai saksi, atau bahkan disebut tersangka—jejak pengabdiannya tetap hidup di setiap edisi koran yang terbit di pagi hari.