Porosmedia.com, Bandung – Langkah Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, yang mewacanakan pembongkaran Teras Cihampelas atau skywalk yang membentang di atas Jalan Cihampelas, kembali membuka perdebatan klasik: bagaimana memperlakukan warisan pembangunan yang dianggap “tidak relevan” oleh rezim pengganti?
Wacana ini muncul pasca kritik keras Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang menyebut kawasan Cihampelas kini “menyempit dan bau haseum.” Komentar yang tampaknya sederhana, namun cukup kuat memantik respons eksekutif Kota Bandung untuk mempertimbangkan opsi radikal: pembongkaran total.
Namun, apakah logis dan etis membongkar infrastruktur publik senilai Rp 74 miliar (Rp 48 miliar tahap pertama, Rp 23 miliar tahap kedua, dan Rp 3 miliar untuk rehabilitasi tahun 2023) hanya karena muncul kritik bau dan kesan sempit?
Farhan menegaskan bahwa opsi pelepasan aset tidak realistis karena prosesnya kompleks dan nilai ekonominya sulit dikalkulasi. “Dijual mah enggak mungkin, disewakan enggak mungkin. (Dibongkar?) Tah eta,” ujarnya.
Pernyataan ini menyiratkan frustrasi sekaligus ketidaksiapan menghadapi warisan pembangunan yang kontroversial. Padahal, menurut banyak pengamat kebijakan, solusi ideal bukan pada pembongkaran, tapi pada revitalisasi dan reorientasi fungsi.
Wempy Syamkarya, Pengamat Kebijakan Publik dan Politik Kota Bandung, menyebut bahwa pembongkaran Teras Cihampelas justru merupakan bentuk pemborosan baru yang bertentangan dengan semangat efisiensi anggaran.
“Kalau kita mau jujur, pembongkaran ini justru bentuk pemubaziran baru. Teras Cihampelas adalah ikon yang bisa diperbaiki, bukan dibumihanguskan. Kalau masalahnya cuma bau atau penataan pejalan kaki, ya diperbaiki saja. Itu lebih bijak,” ujar Mang Wempy kepada Porosmedia.
Diresmikan pada 2017 oleh Wali Kota saat itu, Ridwan Kamil, Teras Cihampelas digagas sebagai salah satu solusi urban untuk menata PKL secara vertikal dan memberikan pengalaman wisata baru bagi pengunjung. Ia sempat menjadi magnet wisatawan, lokasi hunting foto, dan ruang interaksi baru antara UMKM dan konsumen. Ada 192 stand yang telah dibangun dan puluhan pedagang yang menggantungkan hidupnya di sana.
Namun, seiring waktu, perhatian terhadap pemeliharaan mulai menurun. Skywalk yang dulunya dianggap futuristik kini dinilai tak fungsional oleh beberapa pihak. Tapi apakah itu kesalahan desain, atau kelalaian pemeliharaan?
Yoga D.H. Dipura, Ketua Raksa Bandung, menyampaikan pandangan yang lebih solutif:
“Tidak perlu dibongkar. Teras Cihampelas ini sudah menjadi bagian dari memori kolektif kota. Kalau memang ada masalah pemeliharaan, buka peluang kerja sama dengan pihak swasta. Beberapa pengusaha siap bantu rawat aset ini jika pemerintah kota membuka pintu,” ujarnya.
Wacana pembongkaran Teras Cihampelas mengungkap masalah klasik dalam pengelolaan kota: kebijakan jangka pendek yang reaktif terhadap opini politik, alih-alih berdasarkan kajian mendalam dan partisipasi warga.
Padahal, Kota Bandung tidak sedang surplus APBD. Membongkar skywalk yang menghabiskan Rp 74 miliar, lalu tak mengganti dengan solusi konkret lain, bukan hanya kontraproduktif, tapi menandai gagalnya kesinambungan visi antar pemimpin daerah.
Lebih jauh, ini menyentuh soal mentalitas “hapus jejak pendahulu” yang berbahaya bagi pembangunan kota. Pembangunan kota bukan hanya soal membangun fisik, tapi membangun memori, kontinuitas, dan tanggung jawab sejarah.
Senada dikatakan Bambang Sudaryanto Daripada membongkar, mengapa tidak merancang skema revitalisasi yang kolaboratif? Beberapa opsi konkret antara lain:
Renovasi konsep dan arsitektur: menyesuaikan dengan arus pejalan kaki, aliran udara, dan kenyamanan visual.
Alih fungsi sebagian area: bisa dijadikan galeri UMKM, tempat pertunjukan seniman jalanan, atau taman atap mini.
Kemitraan dengan swasta: untuk pemeliharaan, pengelolaan acara, dan revitalisasi estetika.
Konsultasi publik dan uji fungsi sosial: untuk mengukur kebutuhan warga dan wisatawan.
Teras Cihampelas bukan hanya soal beton dan baja. Ia adalah simbol kota, tempat orang berjalan, berjualan, berfoto, bahkan bersantai. Jika benar-benar dibongkar tanpa roadmap perbaikan yang matang, maka pemerintah kota tak hanya membongkar besi dan papan, tapi juga harapan warga pada pembangunan yang berkelanjutan.
Apakah akal sehat tata kota masih punya tempat dalam diskursus pembangunan Kota Bandung?
Kita tunggu langkah cerdas, bukan langkah emosional. Karena kota bukan panggung teater politik. Ia adalah rumah warganya.