Taman Futsal Ciujung: Ambisi Revitalisasi Pemkot Bandung yang Terlambat Terwujud

Avatar photo

Porosmedia.com, Bandung – Satu lagi proyek ruang publik di Kota Bandung yang menuai sorotan. Taman Ciujung, yang terletak di Jalan Supratman, Kecamatan Bandung Wetan, digadang-gadang akan menjadi pusat olahraga rakyat. Namun, hingga awal 2025, proyek revitalisasi senilai lebih dari Rp5,5 miliar itu belum juga rampung.

Janji Revitalisasi: Ambisi Besar, Realisasi Tertinggal

Revitalisasi Taman Ciujung dirancang untuk menjadi ruang olahraga multifungsi: lapangan futsal, basket, kebugaran, hingga area bermain anak. Di atas kertas, proyek ini akan menjadi wajah baru ruang publik di Bandung, “hadiah tahun baru” seperti disampaikan Kepala Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (DPKP) Kota Bandung, Rizki Kusrulyadi.

Namun kenyataannya, pada Januari 2025, proyek masih mangkrak. DPKP mengakui adanya keterlambatan dan menjatuhkan denda kepada kontraktor. Meski demikian, belum ada informasi publik yang transparan soal nilai denda, detail penyebab keterlambatan, maupun siapa kontraktor pelaksana yang dimaksud. Pihak DPKP hanya menyebut adanya “jaminan proyek”, tanpa membuka dokumen kontraktual yang semestinya menjadi hak publik untuk mengetahui.

Baca juga:  dari Kendari untuk Indonesia, GMNI Gelar Aksi Konsolidasi Respon Kebijakan Pemerintah Pusat

Nilai Proyek dan Kode Anggaran

Berdasarkan data RUP (Rencana Umum Pengadaan), proyek revitalisasi ini dikodekan dengan RUP 47248241 dan memakan anggaran sebesar Rp5.501.942.550. Anggaran tersebut bersumber dari APBD Kota Bandung 2024. Nilai ini mencakup pembangunan infrastruktur, fasilitas olahraga, taman, serta sarana ibadah dan MCK.

Namun publik patut bertanya: sejauh mana pengawasan anggaran dilakukan? Apakah audit internal atau eksternal telah dijalankan secara profesional dan independen? Hingga kini, belum ada laporan BPK atau Inspektorat Daerah yang dipublikasikan secara terbuka terkait progres dan pertanggungjawaban proyek.

Fasilitas FutsalAntara Janji Gratis dan Potensi Komersialisasi

Lapangan futsal menjadi salah satu ikon utama dari proyek ini. Pemkot menyebut fasilitas akan digunakan secara gratis, namun tidak menjelaskan bagaimana regulasi penggunaan akan ditegakkan. Apakah akan diberlakukan sistem sewa tersembunyi melalui “donasi sukarela” atau dibatasi oleh sistem reservasi yang sulit dijangkau warga?

Pengalaman dari sejumlah taman kota lain di Bandung menunjukkan kecenderungan komersialisasi ruang publik oleh pihak ketiga, seringkali tanpa mekanisme pengawasan yang jelas.

Baca juga:  KPU Kabupaten Tasikmalaya Melantik 5.415 Petugas Pantarlih Secara Serentak di Jawa Barat

Bandingkan: Tarif Futsal Komersial vs Akses Publik

Sebagai pembanding, berikut beberapa fasilitas futsal di Kota Bandung:

Futsal 35 (Kiaracondong): Rp120.000/jam

Ace Futsal & Tennis (Bandung Kulon): Harga bervariasi

Soccer Blast (Regol): Rp70.000–Rp125.000/jam

Dengan mahalnya tarif sewa di tempat swasta, publik tentu berharap Taman Ciujung benar-benar menjadi oase olahraga rakyat — bukan sekadar slogan proyek.

Catatan Hukum dan Transparansi

Dari sisi hukum, proyek revitalisasi ruang publik termasuk ke dalam kategori pengadaan barang/jasa pemerintah yang wajib tunduk pada Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Keterlambatan pekerjaan dan tidak tercapainya output proyek sesuai tenggat dapat dikategorikan sebagai wanprestasi oleh penyedia jasa. Dalam kasus yang lebih berat, ini bisa masuk ke dalam pelanggaran hukum administrasi atau bahkan pidana jika ditemukan unsur penyelewengan anggaran.

Sayangnya, minimnya akses terhadap dokumen kontrak, daftar penyedia, dan hasil pengawasan menjadikan publik sulit mengawasi langsung proses ini. Padahal, Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU No. 14 Tahun 2008) mewajibkan badan publik membuka data tersebut atas permintaan warga.

Baca juga:  Komplotan Maling Spesialis Kabel Fiber Optik Terekam Kamera CCTV

Proyek Rakyat, Tapi Minim Transparansi

Revitalisasi Taman Ciujung adalah proyek ambisius yang seharusnya membanggakan. Namun, kenyataannya justru menambah daftar pekerjaan mangkrak di Kota Bandung. Di tengah kebutuhan ruang publik yang memadai dan inklusif, pemerintah harusnya lebih tegas, transparan, dan bertanggung jawab.

Warga Bandung berhak tahu: uang rakyat digunakan untuk siapa, oleh siapa, dan sejauh mana manfaatnya dapat dirasakan langsung.