Skandal Satelit Kemenhan: Potret Buram Tata Kelola Pertahanan Nasional

Avatar photo

Porosmedia.com — Kasus pengadaan satelit di Kementerian Pertahanan (Kemenhan) Republik Indonesia mencuat sebagai salah satu skandal besar dalam sektor pertahanan. Melibatkan kontrak dengan perusahaan asing dan dugaan pelanggaran hukum, kasus ini menimbulkan kerugian negara yang signifikan dan menggambarkan lemahnya tata kelola dalam proyek strategis nasional.

Latar Belakang: Kontrak Tanpa Anggaran

Pada Desember 2015, Kemenhan menandatangani kontrak utama dengan Airbus Defence and Space SAS (Prancis) senilai USD 669,4 juta untuk pembangunan satelit komunikasi nasional (Satkomnas). Kontrak ini mencakup pengadaan satelit, segmen darat, dan dukungan lainnya. Namun, pada saat penandatanganan, anggaran untuk proyek ini belum tersedia dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Kemenhan tahun 2015 .

Lebih lanjut, pada Oktober 2016, Kemenhan menandatangani kontrak rinci dengan Navayo International AG, perusahaan asal Hungaria. Namun, proyek ini tidak dilanjutkan karena ketiadaan anggaran, sehingga Kemenhan tidak memenuhi kewajiban pembayaran kepada Navayo sesuai kontrak .

Gugatan Arbitrase dan Kerugian Negara

Akibat wanprestasi tersebut, Navayo mengajukan gugatan ke International Court of Arbitration (ICC) di Singapura pada November 2018. Pada April 2021, ICC memutuskan bahwa Kemenhan harus membayar USD 20,9 juta (sekitar Rp 304 miliar) kepada Navayo .

Baca juga:  Mengenal Drew Sullivan : Pendiri OCCRP yang menginspirasi Jurnalis Investigasi 

Selain itu, Kemenhan juga menghadapi gugatan dari Avanti Communications Limited di London Court of International Arbitration (LCIA) karena kekurangan pembayaran sewa satelit Artemis. Pengadilan memerintahkan Indonesia membayar Rp 515 miliar kepada Avanti .

Secara keseluruhan, kerugian negara akibat proyek pengadaan satelit ini ditaksir mencapai Rp 453,09 miliar, berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) .

Pelanggaran Hukum dan Prosedur

Investigasi Kejaksaan Agung mengungkapkan sejumlah pelanggaran hukum dalam proyek ini:

Kontrak Tanpa Anggaran: Kemenhan menandatangani kontrak dengan beberapa perusahaan, termasuk Navayo dan Avanti, meskipun anggaran belum tersedia dalam DIPA tahun 2015 .

Pelanggaran Prosedur Pengadaan: Kontrak dilakukan tanpa melalui proses pengadaan barang/jasa yang sesuai, tanpa Rencana Umum Pengadaan (RUP), Kerangka Acuan Kerja (KAK), dan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) .

Penyewaan Satelit Tidak Diperlukan: Kemenhan menyewa satelit Artemis dari Avanti meskipun tidak diperlukan, karena masih ada tenggang waktu untuk penggunaan slot orbit setelah satelit sebelumnya tidak berfungsi .

Penerimaan Barang Tidak Sesuai Spesifikasi: Navayo menyerahkan barang yang tidak sesuai dengan dokumen Certificate of Performance, namun tetap diterima dan ditandatangani oleh pejabat Kemenhan .

Baca juga:  Wakil Ketua DPRD Kota Cimahi, Edi Kanedi Tegaskan Akan Serap Dahulu Usulan Masyarakat yang Tidak Ada di SPD

Tindak Pidana Korupsi dan Proses Hukum

Empat terdakwa dalam kasus ini, termasuk Laksamana Muda TNI (Purn) Agus Purwoto, Komisaris Utama PT Dini Nusa Kusuma (DNK) Arifin Wiguna, Direktur Utama PT DNK Surya Cipta Witoelar, dan Warga Negara AS Thomas Anthony Van Der Heyden, didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Mereka dituntut hukuman penjara hingga 18 tahun 6 bulan .

Refleksi dan Rekomendasi

Kasus ini mencerminkan kelemahan dalam tata kelola proyek strategis nasional, khususnya dalam sektor pertahanan. Beberapa pelajaran penting yang dapat diambil:

1. Perencanaan Anggaran yang Matang: Setiap proyek strategis harus didukung oleh perencanaan anggaran yang jelas dan tersedia sebelum kontrak ditandatangani.

2. Kepatuhan terhadap Prosedur Pengadaan: Proses pengadaan harus mengikuti aturan yang berlaku, termasuk penyusunan RUP, KAK, dan HPS, serta melalui proses lelang yang transparan.

3. Pengawasan dan Akuntabilitas: Diperlukan pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan proyek, serta akuntabilitas dari para pejabat yang terlibat.

Baca juga:  PH. PPP DPC Cimahi Hidayat : "Curat-Coret Lambang Partai Dalam Spanduk Harus Di Proses Secara Hukum

4. Penegakan Hukum yang Tegas: Proses hukum harus berjalan tanpa intervensi, dan pelaku yang terbukti bersalah harus dihukum sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Kasus pengadaan satelit di Kemenhan menjadi pengingat pentingnya integritas dan profesionalisme dalam pengelolaan proyek nasional, terutama yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan negara.