Skandal Ijazah Joko Widodo: Ilmu Pengetahuan Vs Arogansi Kekuasaan

Avatar photo

Oleh: Adhie M. Massardi
Mantan Juru Bicara Presiden KH Abdurrahman Wahid (1999–2001)

Porosmedia.com – Tragedi besar dalam sejarah ilmu pengetahuan empat abad lalu kini seperti direkonstruksi kembali di Polda Metro Jaya oleh Presiden Joko Widodo. Jika pada abad ke-17 Galileo Galilei berhadapan dengan Paus Urbanus VIII, maka kini Presiden RI ke-7 berhadapan dengan Dr. Rismon Hasiholan Sianipar, DR. KRMT Roy Suryo, dan Dr. Tifauzia Tyassuma—tiga tokoh intelektual yang mempertanyakan keabsahan ijazahnya.

Akankah mereka, seperti Galileo, dipenjara karena pandangan keilmuannya?

Mengulang Tragedi Galileo di Tanah Air

Kehadiran Joko Widodo ke Polda Metro Jaya pada Rabu, 29 April 2025 untuk mempidanakan Rismon, Roy Suryo, dan Tifauzia adalah isyarat bahwa Indonesia tengah memasuki era di mana kekuasaan kembali menindas ilmu pengetahuan. Galileo Galilei, ilmuwan besar Italia yang lahir pada 1564, dihukum oleh Pengadilan Inkuisisi karena menyuarakan pandangan bahwa bumi mengelilingi matahari—pandangan yang bertentangan dengan doktrin Gereja Katolik saat itu.

Pada akhirnya, Vatikan secara resmi menyampaikan permohonan maaf atas pengadilan sesat itu pada 31 Oktober 1992 melalui Paus Yohanes Paulus II. Namun, butuh waktu 350 tahun bagi institusi sekelas Gereja Katolik untuk mengakui kesalahan mereka terhadap ilmu pengetahuan.

Baca juga:  Hancurnya Fitrah Ibu di Sistem Kapitalisme

Kini, Indonesia dihadapkan pada pertanyaan mendasar: akankah kita mengulangi sejarah kelam itu?

Presiden Anti-Intelektualisme?

Kepemimpinan Joko Widodo telah lama menuai kritik, baik karena kontradiksi antara ucapan dan kebijakan, maupun soal transparansi rekam jejak akademiknya. Pernyataan-pernyataan seperti “KA cepat Jakarta-Bandung tak akan gunakan APBN” hingga “tersedia dana Rp 11 ribu triliun” ternyata hanya ilusi retoris belaka. Sementara itu, publik yang mempertanyakan keabsahan ijazahnya—seperti Bambang Tri dan Gus Nur—malah divonis penjara.

Pertanyaan publik yang wajar dan didasari akal sehat justru dibalas dengan tindakan represif. Bahkan kini, ketika Rismon Sianipar dan Roy Suryo—dua intelektual dengan kredibilitas akademik tinggi dari UGM—menggunakan keahliannya untuk menelaah keabsahan dokumen negara, mereka pun dilaporkan ke polisi. Ditambah lagi dengan analisis kejiwaan oleh Dr. Tifauzia Tyassuma yang memperkuat argumen mereka secara multidisipliner.

Apakah penggunaan keilmuan secara objektif dan publik kini dianggap sebagai kejahatan di negeri ini?

UGM dan Senyapnya Institusi Pendidikan

UGM, sebagai institusi pendidikan tinggi yang paling awal didirikan pasca-kemerdekaan, justru tidak bersuara tegas dalam menanggapi kontroversi ini. Ironis, mengingat ketiga intelektual tersebut adalah alumnus UGM yang memperjuangkan transparansi dan integritas akademik. Ketika kejujuran ilmiah digugat dengan pasal pidana, bangsa ini sejatinya sedang mundur ke masa kegelapan.

Baca juga:  Kebiasaan minum Kopi Hitam Tanpa Gula waspadai efek sampingnya

Ketika Laporan Polisi Gantikan Argumen Ilmiah

Joko Widodo, yang kini tidak lagi menjabat, tampak masih memiliki pengaruh kuat terhadap institusi penegak hukum. Maka tak heran bila laporan pidana terhadap ketiga intelektual tersebut cepat ditindaklanjuti. Hubungan emosional, loyalitas masa lalu, dan kalkulasi politik ke depan—terutama karena putranya, Gibran Rakabuming, menjabat sebagai Wakil Presiden—semua menjadi variabel penting dalam proses hukum yang berlangsung.

Dikhawatirkan, ketiga intelektual itu akan dikriminalisasi bukan karena mereka salah, melainkan karena mereka benar dan berani menyuarakan kebenaran ilmiah.

Kesimpulan: Antara Galileo dan Indonesia Hari Ini

Jika skenario ini benar-benar terjadi—di mana kaum intelektual dijadikan pesakitan karena berpikir dan mengungkap kebenaran ilmiah—maka sejarah akan mencatat Joko Widodo sebagai pemimpin yang mendorong negeri ini ke zaman anti-intelektualisme.

Dalam tulisannya di Kompas (2 Februari 2015), Dr. Yudi Latif pernah menyampaikan peringatan yang kini terasa relevan:

“Kehadiran Jokowi sebagai pemimpin negara membawa arus besar anti-intelektualisme dalam masyarakat. Banyak orang yang tidak lagi menghargai pikiran, bahkan mengembangkan sinisme terhadap kedalaman pengetahuan.”

Baca juga:  Vivo V23 5G Meluncur 25 Januari, Ini Harga dan Spesifikasinya

Ilmu pengetahuan dan akal sehat mungkin akan menang pada akhirnya. Namun sebelum itu terjadi, bangsa ini bisa saja kehilangan banyak hal: moralitas, kepercayaan publik, hingga waktu yang sangat berharga.

Selama satu dekade terakhir, kepemimpinan Jokowi telah menciptakan distorsi besar terhadap arah bangsa. Seperti dua bom atom yang pernah dijatuhkan di Jepang, dua periode pemerintahannya menimbulkan efek jangka panjang yang menghancurkan daya pikir, daya juang, dan kesejahteraan rakyat. Kini, bahkan menurut laporan Bank Dunia, lebih dari 60% rakyat Indonesia berada di bawah garis kemiskinan.

Apakah Polri dan aparat penegak hukum akan terus menggunakan kekuasaan untuk membungkam kebenaran? Ataukah mereka memilih berada di pihak sejarah yang benar—seperti akhirnya Gereja mengakui Galileo?

Hanya waktu yang bisa menjawab. Tapi satu hal pasti: bangsa yang menolak ilmu pengetahuan akan terperosok dalam kebodohan dan kesesatan yang panjang.

 

Editor: Ade Mulyana
Penulis adalah penyair, pemikir kebangsaan, dan kebudayaan.