Siapa Peduli Saat Pers Lokal Sekarat?

Avatar photo

Oleh: Sony Fitrah Perizal, Ketua Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Provinsi Jawa Barat

Porosmedia.com – “Apakah ini adalah akhir dari dunia pers di Indonesia?” Pertanyaan ini bukan sekadar retorika, tetapi merupakan gambaran pahit dari kenyataan yang kini dihadapi media, khususnya media lokal yang berjuang keras namun masih terjebak dalam badai disrupsi dan pengabaian sistematis oleh negara.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dengan tegas menempatkan pers sebagai salah satu pilar demokrasi. Peran pers bukan hanya sebagai penyampai berita, tetapi juga sebagai alat edukasi, kontrol kekuasaan, dan penghalau disintegrasi nasional.

Namun, kenyataannya jauh panggang dari api. Banyak media lokal, terutama yang kecil, terpaksa merosot tidak hanya dalam kualitas, tetapi juga dalam keberlanjutan operasional mereka. Minimnya sumber daya manusia yang profesional, manajemen bisnis yang lemah, infrastruktur yang terbatas, dan ketergantungan pada anggaran publikasi pemerintah telah menciptakan kondisi yang memprihatinkan. Banyak media kini hidup berkat “napas buatan” dari dukungan yang tidak konsisten.

Baca juga:  Komunitas Jabar & Indonesia Unggul Usulkan 10 Nopember 2024 Pemberian Gelar Pahlawan Nasional bagi Mochtar Kusumaatmadja 

Dalam teori, pemerintah seharusnya menjadi penjaga kemerdekaan pers. Namun, dalam praktiknya, dukungan yang diperlukan untuk menciptakan ekosistem pers yang sehat justru semakin menjauh. Kebijakan pemangkasan anggaran publikasi pemerintah, yang seharusnya digunakan untuk mendukung media lokal, semakin menambah kesulitan. Bukan hanya menciptakan ketimpangan informasi, tetapi juga mengakibatkan mati surinya ruang hidup media lokal.

Lebih menyedihkan lagi, anggaran publikasi pemerintah telah dialihkan ke media sosial: platform-platform yang sama sekali tidak terikat pada UU Pers, tidak mengenal verifikasi fakta, dan tidak menjalankan tanggung jawab etis minimum yang biasa diharapkan dari insan pers. Akibatnya, informasi yang seharusnya menjunjung kedaulatan digital kita justru beralih ke platform global yang mengabaikan konteks lokal

Di era digital, siapa pun bisa menjadi “penyampai informasi”. Namun, tidak semua informasi itu adalah kebenaran. Konten kreator seringkali mengabaikan tanggung jawab sosial mereka dalam menyebarkan informasi. Ketidakpastian ini semakin diperparah ketika banyak pejabat publik lebih memilih membangun citra di media sosial, mengabaikan potensi media massa yang memiliki kapasitas untuk faktual dan akurat.

Baca juga:  Kerajaan Salaka Nagara Kerajaan Tertua yang ada di Nusantara 

PHK massal di industri pers bukanlah berita baru; legitimasi ini sudah menjadi rutinitas pahit. Wartawan dan karyawan media di-PHK secara besar-besaran, namun tidak ada dukungan nyata dari pemerintah dalam bentuk skema jaminan keberlanjutan industri pers. Tanpa insentif, subsidi, atau perlindungan yang konkret, masa depan wartawan menjadi sangat tidak pasti.

Di mana saat negara dibutuhkan ketika jurnalis kehilangan pekerjaan mereka? Siapa yang akan berbicara untuk mereka yang tak lagi memiliki suara?

Sebagai lembaga independen, Dewan Pers memiliki tugas penting dalam menjaga kode etik, menyelesaikan sengketa, dan melindungi wartawan. Namun, tanpa anggaran yang memadai dan kewenangan eksekusi, Dewan Pers tidak dapat menjalankan perannya secara efektif. Kandungan krisis ini menunjukkan bahwa tanggung jawab menjaga kelangsungan hidup industri pers bukan hanya tanggung jawab Dewan Pers, melainkan juga tanggung jawab negara.

Kita tidak berbicara tentang sekadar profesi atau bisnis—ini tentang masa depan demokrasi. Tanpa media yang bebas, profesional, dan independen, publik akan merugi dalam hal informasi yang kredibel, dan kekuasaan akan beroperasi tanpa kontrol dan pengawasan.

Baca juga:  Tiga Jenis Potensi Manusia, Pentingkah?

Pemerintah seharusnya hadir bukan sebagai regulator yang mengekang, tetapi sebagai fasilitator yang menciptakan ekosistem jurnalisme yang sehat. Media harus mandiri, wartawan terlindungi, dan publik tercerahkan. Kemerdekaan pers bukan hanya hak bagi wartawan; ini adalah hak setiap individu yang ingin hidup dalam negara demokratis yang sehat.

Jika pemerintah tetap diam dan publik terus abai, senjakala pers bukan hanya ancaman—ini adalah kenyataan yang akan mengancam demokrasi kita. Mari kita bertanya pada diri masing-masing: Siapa yang akan peduli saat pers benar-benar tumbang?

Reformasi dibutuhkan sekarang, dan setiap suara berharga dalam perjalanan ini. Kita harus berjuang bersama, untuk pers yang berani, independen, dan terhormat.