Sebelum Menghakimi, Mari Belajar Memahami

Avatar photo

Porosmedia.com – Di dunia yang semakin bising dengan penilaian dan penghakiman instan, mudah bagi kita untuk menunjuk jari ke arah orang lain. Terutama ketika tindakan mereka berbeda dari nilai, norma, atau kebiasaan yang kita anggap benar. Media sosial mempercepat proses itu—cukup satu klik, kita bisa menjadi hakim, juri, bahkan algojo atas pilihan hidup seseorang yang sebenarnya tidak kita kenal.

Namun, Kang Maman, seorang penulis dan pemikir humanis, pernah mengingatkan dengan sangat sederhana namun dalam: “Setiap orang sedang berjalan di jalan hidupnya masing-masing—dengan luka, beban, dan keputusan yang belum tentu pernah kita alami.”

Kalimat itu bukan sekadar pengingat, melainkan tamparan lembut bagi siapa pun yang kerap tergesa-gesa menilai. Sebab apa yang tampak keliru di mata kita, bisa jadi adalah satu-satunya pilihan yang tersisa bagi orang lain. Kita tak pernah benar-benar tahu seperti apa jalan hidup yang sedang mereka lalui—berliku, berbatu, atau bahkan gelap tanpa peta.

Sering kali kita lupa, bahwa pemahaman seseorang dibentuk oleh pengalaman hidupnya. Tidak semua orang dibesarkan dalam lingkungan yang memanjakan akal sehat. Tidak semua punya kemewahan untuk berpikir jernih, memilih bebas, dan bertindak rasional. Kadang hidup memaksa mereka untuk mengambil keputusan di bawah tekanan, dalam waktu sempit, dengan luka lama yang belum sembuh.

Baca juga:  Bahasa Indonesia Diakui sebagai Bahasa Resmi UNESCO: Tonggak Sejarah Baru Diplomasi Budaya Indonesia

Dan saat itulah kita datang—bukan sebagai penolong, tetapi sebagai pengamat yang cepat menyimpulkan. Kita melabeli: “bodoh”, “salah arah”, “kurang iman”, atau “tidak tahu malu”, tanpa sempat bertanya lebih dulu: “Apa yang sedang dia hadapi?” atau “Bagaimana jika aku berada di posisinya?”

Memahami tidak selalu berarti membenarkan. Tapi ia adalah bentuk tertinggi dari empati—dan juga kerendahan hati. Belajar memahami sebelum menghakimi adalah pertanda bahwa batin kita telah tumbuh, tidak lagi sombong dengan kebenaran versi diri sendiri.

Sebab dalam hidup, kita semua sedang berjalan. Tidak ada yang sepenuhnya tahu arah, tidak ada yang benar-benar bersih dari salah. Dan siapa tahu, suatu hari nanti, kita akan melintasi jalan yang serupa dengan yang dulu kita nilai dengan begitu mudah.

Maka, jangan merasa apa yang kita yakini adalah satu-satunya yang terbaik. Boleh meyakini kebenaran kita, tapi jangan sampai keyakinan itu membuat kita menutup telinga pada cerita orang lain.

Karena di balik setiap pilihan manusia, selalu ada cerita yang belum tentu kita tahu. Dan dalam cerita-cerita itulah, barangkali, kita bisa menemukan bagian dari diri kita sendiri yang dulu pernah terjatuh—dan kini sedang belajar untuk tidak cepat menunjuk jari.

Baca juga:  Forkopimda Sepakat Jaga Kota Bandung Kondusif, Farhan: Tindak Tegas Miras Ilegal