Porosmedia.com, Jakarta – Rumor pergantian Kapolri kembali mencuat ke ruang publik dalam sepekan terakhir. Dua nama perwira tinggi Polri—Sekjen KKP Komjen Rudy Heriyanto dan Kapolda NTT Irjen Rudi Darmoko—disebut-sebut menjadi kandidat kuat pengganti Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Isu ini bukan kali pertama muncul. Sebelumnya, rumor serupa sempat berembus saat transisi kekuasaan dari Presiden Joko Widodo ke Presiden Prabowo Subianto. Namun, kabar tersebut meredup setelah Presiden Prabowo memutuskan untuk mempertahankan Jenderal Listyo sebagai Kapolri.
Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R. Haidar Alwi, menyikapi rumor ini sebagai manuver pihak-pihak yang merasa terganggu oleh konsistensi dan ketegasan Kapolri dalam memberantas kejahatan. Ia menilai, isu ini sengaja digulirkan oleh kelompok yang gerah terhadap gebrakan Polri di bawah kepemimpinan Jenderal Listyo.
“Kejahatan-kejahatan yang selama ini hidup nyaman di zona aman, kini tak lagi bisa bernapas lega. Di era Jenderal Listyo, semua ditindak tegas tanpa pandang bulu. Inilah yang membuat kejahatan merasa resah dan berupaya mencari celah untuk menggoyang posisi Kapolri,” ujar Haidar Alwi, Selasa (3/6/2025).
Ia menyoroti bahwa rumor pergantian Kapolri muncul tidak lama setelah Polri merilis data penangkapan lebih dari 10.000 preman dalam waktu hanya 25 hari. Operasi itu mencakup preman jalanan, preman berseragam ormas, hingga sosok preman dalam balutan jas dan dasi yang kerap bersembunyi di balik institusi kekuasaan.
Survei Indikator Politik Indonesia menunjukkan tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Polri meningkat signifikan, terutama dalam hal pemberantasan premanisme. Menurut Haidar, kejahatan yang selama ini dianggap “untouchable”, termasuk yang berafiliasi dengan partai politik besar atau ormas raksasa, kini tak luput dari tindakan hukum.
“Kita masih ingat bagaimana seorang pimpinan parpol besar berulang kali mencoba menemui Kapolri karena kadernya tersangkut kasus di KPK. Kita juga lihat KPK berani menggeledah rumah sejumlah tokoh ormas besar—itu karena penyidiknya banyak berasal dari Polri. Jelas terlihat, Kapolri Jenderal Listyo tidak bisa diintervensi dan tidak mengenal kompromi terhadap kejahatan,” tegasnya.
Lebih lanjut, Haidar menyebut bahwa selain faktor ketidaknyamanan para pelaku kejahatan, isu pergantian Kapolri juga dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang kecewa terhadap keputusan Presiden Prabowo yang mempertahankan sejumlah pejabat era Jokowi, termasuk Kapolri.
“Ini bukan hanya soal hukum, tapi juga politik. Ada pihak yang menentang konsistensi Presiden Prabowo dalam mempertahankan figur-figur profesional warisan Jokowi, dan mencoba menggiring opini publik dengan memainkan isu ini sebagai alat ‘cek ombak’,” ujarnya.
Menurutnya, sejauh ini belum ada sinyal resmi dari Presiden Prabowo Subianto sebagai pemegang hak prerogatif terkait pergantian Kapolri. Haidar menegaskan, selama belum ada alasan konkret atau kegagalan kinerja, wacana pergantian Kapolri adalah spekulasi yang tidak berdasar.
“Prestasi Jenderal Listyo diakui tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga mendapat pengakuan internasional. Maka sangat tidak relevan jika digeser hanya karena tekanan segelintir pihak yang terusik oleh komitmennya terhadap pemberantasan kejahatan,” pungkas Haidar.