Porosmedia.com, Bandung – Ricuh yang terjadi di Pasar Ciroyom bukan sekadar insiden protes pedagang. Ia mencerminkan persoalan struktural dalam pengelolaan pasar tradisional yang selama ini tersandera oleh kepentingan bisnis, kompromi politik, dan abainya fungsi negara terhadap ekonomi rakyat kecil.
Hingga hari ini, baik Wali Kota Bandung, Direktur Utama Perumda Pasar Juara, maupun pihak DPRD belum memberikan tanggapan tegas atas kegaduhan yang terjadi. Diamnya para pemegang kekuasaan ini memunculkan kecurigaan bahwa mereka telah “dikoordinasikan” untuk membiarkan proses berjalan secara sepihak oleh pengelola. Dalam dunia perpolitikan lokal, istilah “dikondisikan” acapkali merujuk pada situasi kompromistis yang diduga berkait dengan keuntungan personal atau kelompok.
Pedagang Marah, Uang Muka Ditolak
Salah satu pemicu kemarahan para pedagang adalah adanya persyaratan baru yang dianggap memberatkan, yaitu keharusan membayar uang muka (down payment/DP) sebesar 30 persen untuk dapat menempati lapak di bangunan baru Pasar Ciroyom. Dalam kondisi ekonomi pasca-pandemi dan lesunya daya beli masyarakat, permintaan ini dianggap tidak manusiawi.
“Kami bukan pengusaha besar. Kami hanya pedagang kecil yang hidup dari hari ke hari. Kalau harus setor 30 persen dulu, ya kami tidak mampu,” ujar seorang pedagang yang enggan disebut namanya.
Kekompakan para pedagang untuk tidak membayar DP adalah bentuk resistensi terhadap kebijakan yang mereka anggap tidak adil. Sayangnya, alih-alih mencari solusi, pemerintah kota terkesan lepas tangan.
Kapitalisasi Pasar Rakyat
Ekonom Universitas Padjadjaran, Dr. Didi Suryadi, menilai bahwa persoalan seperti ini bukan kali pertama terjadi di pasar-pasar tradisional Indonesia. “Kapitalisasi terhadap pasar rakyat sudah berlangsung lama. Peran negara sebagai pelindung pelaku ekonomi kecil semakin terkikis oleh logika korporasi. Padahal, pasar rakyat adalah benteng ekonomi kerakyatan,” ujarnya.
Pasar yang mestinya menjadi ruang publik dan ekonomi kolektif kini diperlakukan layaknya komoditas investasi. Pihak swasta atau BUMD yang mengelola pasar diberi ruang luas tanpa pengawasan berarti. Dalam banyak kasus, revitalisasi pasar justru menjadi proyek bisnis yang melahirkan konflik antara pengelola dan pedagang.
Minim Transparansi, Lemah Akuntabilitas
Minimnya keterbukaan dalam proses revitalisasi Pasar Ciroyom semakin memperparah situasi. Tidak jelas bagaimana mekanisme penetapan tarif, siapa yang menentukan skema DP, dan mengapa pedagang lama harus tunduk pada sistem baru yang tidak melibatkan mereka dalam perencanaan.
Menurut pengamat kebijakan publik dari UI, Bambang Setiawan, “Pengelolaan pasar yang sehat mensyaratkan akuntabilitas dan partisipasi publik. Ketika dua hal ini absen, maka yang muncul adalah dominasi kekuasaan dan potensi korupsi kebijakan.”
Ketiadaan tanggapan dari wali kota dan DPRD menandakan bahwa struktur pengawasan publik melemah. Masyarakat tak tahu harus mengadu kepada siapa, dan pedagang akhirnya memilih turun ke jalan sebagai bentuk ekspresi frustasi.
Pasar Ciroyom: Tanda Bahaya bagi Bandung
Kasus Pasar Ciroyom semestinya menjadi alarm bagi pemerintah Kota Bandung dan seluruh stakeholder ekonomi kota. Jika pasar rakyat yang menjadi tumpuan ekonomi wong cilik terus dipinggirkan demi keuntungan segelintir elite, maka bukan tidak mungkin akan muncul perlawanan sosial yang lebih besar.
Pemerintah Kota Bandung harus segera menghentikan segala bentuk pemaksaan terhadap pedagang, mengevaluasi skema kerja sama dengan pengelola, serta membuka ruang dialog partisipatif. Jika tidak, maka Bandung akan kehilangan jantung ekonominya: pasar rakyat.
Kisruh Pasar Ciroyom adalah hasil dari pengelolaan pasar yang minim transparansi, lemah akuntabilitas, dan sarat kepentingan ekonomi elite. Ketika suara pedagang diabaikan, maka yang terjadi bukan hanya ricuh di pasar, tapi retaknya kepercayaan publik terhadap pemerintah. Bandung harus memilih: berpihak pada rakyat kecil atau terus menuruti logika kapitalisasi birokrasi.