Porosmedia.com, Kab. Sumedang – Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Barat, Herman Suryatman, menghadiri pembukaan Orientasi Kepemimpinan atau retret bagi Kepala Daerah (KDH) dan Wakil Kepala Daerah (WKDH) Gelombang II Tahun 2025 yang digelar di Kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Senin (23/6/2025).
Retret yang berlangsung selama lima hari ini diikuti oleh 86 kepala daerah dari berbagai wilayah Indonesia, termasuk para kepala daerah hasil Pemungutan Suara Ulang (PSU) dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pasca Pilkada Serentak 2024. Dari Jawa Barat, Bupati dan Wakil Bupati Tasikmalaya, Cecep Nurul Yakin dan Asep Sopari, menjadi salah satu peserta yang baru dilantik pasca-PSU.
Namun, di balik nuansa kebersamaan dan silaturahmi yang digaungkan, muncul pertanyaan kritis: apakah retret ini benar-benar mampu menjawab tantangan kepemimpinan daerah atau hanya sebatas kegiatan simbolik yang tidak menyentuh akar problematika pemerintahan?
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menjabarkan sejumlah tema yang akan diangkat dalam retret ini: dari Ketahanan Nasional, Wawasan Kebangsaan, Asta Cita, hingga komunikasi politik dan team building. Dengan 31 narasumber dan lokasi strategis di Jatinangor — yang disebut memudahkan mobilitas para pejabat tinggi berkat kehadiran Kereta Cepat Whoosh — kegiatan ini tampak dirancang sangat serius.
Namun, tak sedikit pihak yang menganggap pendekatan ini terlalu teknokratis dan terpusat. “Team building” dan “sinergi vertikal-horizontal” yang digaungkan dalam setiap retret kerap kali tidak berbanding lurus dengan perbaikan tata kelola dan pelayanan publik di daerah. Pertanyaannya: sejauh mana retret ini mampu mengubah orientasi kepala daerah dari politik elektoral menuju kepemimpinan yang berpihak pada rakyat?
“IPDN merupakan lembaga pendidikan kedinasan terbesar di Indonesia dan fasilitasnya sangat memadai,” ujar Tito.
Pernyataan tersebut sahih. Namun publik menunggu lebih dari sekadar fasilitas: publik menuntut hasil konkret berupa tata kelola pemerintahan daerah yang transparan, akuntabel, dan progresif.
Dalam forum tersebut, Tito juga mengumumkan rencana retret serupa bagi para Sekretaris Daerah (Sekda) se-Indonesia, yang akan digelar di Magelang. Menurutnya, para Sekda adalah “birokrat senior” yang memiliki peran penting dalam menggerakkan roda pemerintahan, berbeda dengan kepala daerah yang dipilih melalui proses politik.
“Presiden sudah memberi arahan agar retret juga dilaksanakan untuk para Sekda,” kata Tito.
Menanggapi hal itu, Sekda Jabar Herman Suryatman menyatakan kesiapan tanpa ragu:
“Kalau ada instruksi retret, siap. Bahkan kalau hari ini harus berkemas, saya juga siap.”
Pernyataan Herman bisa dibaca sebagai loyalitas birokratik yang tinggi, namun sekaligus mencerminkan kepatuhan terhadap agenda pusat tanpa refleksi kritis: apakah retret itu sekadar repetisi pelatihan atau wadah rekonstruksi visi birokrasi daerah yang lebih responsif dan inovatif?
Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto menggarisbawahi bahwa retret ini dimaksudkan untuk memperkuat koordinasi dan konsistensi antarpemerintah daerah dan pusat.
“Kami percaya bahwa forum ini menumbuhkan kemauan dan kemampuan untuk disiplin serta konsisten dalam menjalankan pemerintahan,” ujarnya.
Namun di berbagai daerah, justru yang terjadi adalah friksi antara kepala daerah dan DPRD, tarik-menarik kepentingan anggaran, serta tumpang tindih program antara pusat dan daerah. Apakah retret ini mampu menjadi jembatan penyatu atau hanya ajang foto bersama tanpa dampak nyata?
Retret kepala daerah seharusnya menjadi platform untuk mengurai krisis tata kelola, bukan sekadar menciptakan ilusi sinergi di ruang berpendingin udara. Saat rakyat menunggu reformasi layanan dasar — dari pendidikan, kesehatan, hingga ekonomi — pemimpin daerah tidak cukup hanya duduk manis mendengar ceramah motivasi. Dibutuhkan keberanian, integritas, dan rekonstruksi visi kepemimpinan yang lahir dari realitas, bukan dari podium pelatihan.