Proyek Jalan Tol Rp14,2 Triliun di Jawa Barat: Infrastruktur untuk Siapa?

Avatar photo

Porosmedia.com – Pemerintah Provinsi Jawa Barat bersama pemerintah pusat merancang Mega proyek jalan tol baru sepanjang 45 kilometer yang  akan menghubungkan Sukabumi, Cianjur, dan Kabupaten Bandung Barat (KBB). Proyek yang dinamai Tol Sukabumi–Ciranjang–Padalarang ini diklaim sebagai bagian dari Program Strategis Nasional (PSN) dan ditargetkan rampung dalam dua tahap, antara 2025 hingga 2029, dengan total investasi mencapai Rp14,2 triliun.

Namun, di balik angka fantastis dan janji manis percepatan konektivitas wilayah selatan Jawa Barat ini, berbagai pertanyaan mencuat: Untuk siapa sebenarnya infrastruktur ini dibangun? Siapa yang diuntungkan dan siapa yang akan terdampak?

Mega-Proyek dan Risiko Penggusuran

Menurut data Bappeda Jawa Barat (2024), sekitar 2.000 bidang tanah di tiga kabupaten akan terdampak proyek ini, sebagian besar di antaranya merupakan lahan pertanian produktif dan pemukiman warga. Proses pembebasan lahan diprediksi akan menjadi tantangan utama.

Dr. Ir. Diah Saptarina, M.T., pakar perencanaan wilayah dari ITB, mengingatkan bahwa proyek tol di wilayah selatan Jawa Barat tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial-ekonomi masyarakat lokal. “Kita harus hati-hati karena pembangunan jalan tol yang tidak memperhatikan kerentanan sosial bisa menimbulkan konflik horizontal, ketimpangan ekonomi, hingga dislokasi komunitas,” ujar Diah.

Baca juga:  Taman Futsal Ciujung: Ambisi Revitalisasi Pemkot Bandung yang Terlambat Terwujud

Dari catatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dalam satu dekade terakhir setidaknya 37 kasus sengketa lahan akibat pembangunan infrastruktur terjadi di Jawa Barat, sebagian besar terkait proyek tol.

Efektivitas Tol dalam Mendorong Ekonomi Lokal

Pemerintah beralasan bahwa pembangunan tol ini akan memangkas waktu tempuh dari Sukabumi ke Bandung dari 4 jam menjadi kurang dari 2 jam. Namun, efektivitas pembangunan jalan tol dalam mendorong pertumbuhan ekonomi lokal kerap diragukan.

“Jalan tol memang mempercepat mobilitas, tetapi tidak otomatis menguntungkan ekonomi rakyat kecil. UMKM dan petani belum tentu bisa mengakses pasar baru karena mereka lebih terdampak oleh hilangnya lahan dan naiknya harga tanah,” kata Arif Kurniawan, peneliti Tata Ruang dari PATTIRO (Pusat Telaah dan Informasi Regional).

Kajian Bank Dunia (2023) mencatat bahwa hanya 28% dari pembangunan tol di Indonesia yang berdampak langsung terhadap penguatan ekonomi mikro. Sisanya justru memperluas polarisasi ekonomi antara kota dan desa.

Pengawasan dan Transparansi Tender

Proyek ini direncanakan menggunakan skema Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU), namun detail perusahaan mitra dan mekanisme tender belum sepenuhnya dibuka ke publik. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan praktik rente dan pengaturan proyek (oligopoli infrastruktur) yang kerap menghantui proyek strategis berskala besar.

Baca juga:  Peran OPD dan Pentaheliks, Jadi Kunci Dasar Raih Label KLA

Aliansi LSM Antikorupsi Jabar dalam pernyataan sikapnya mendesak agar proyek ini diaudit secara independen sejak tahap perencanaan. “Kami khawatir proyek ini hanya menjadi bancakan elite dan konglomerat, tanpa keberpihakan pada warga terdampak,” kata Ketua Aliansi, Nurul Aini.

Alternatif Pembangunan yang Lebih Inklusif

Berbagai pihak mengusulkan agar Pemprov Jabar tidak hanya terobsesi pada jalan tol, tetapi mulai memperkuat moda transportasi publik berbasis rel yang lebih ramah lingkungan dan murah bagi masyarakat. Di tengah krisis iklim dan urbanisasi tak terkendali, pembangunan tol seharusnya bukan satu-satunya solusi.

“Prioritas mestinya ke reaktivasi jalur kereta api Cianjur–Padalarang yang sudah ada sejak zaman kolonial. Itu lebih murah, cepat, dan tidak menggusur rakyat,” ujar pengamat transportasi Djoko Setijowarno.

Evaluasi Kritis Diperlukan

Proyek Tol Sukabumi–Ciranjang–Padalarang adalah simbol ambisi pembangunan infrastruktur yang tidak bisa dilepaskan dari agenda politik, ekonomi, dan kepentingan korporasi. Di saat anggaran pembangunan mencapai Rp14,2 triliun, kita harus bertanya: Apakah proyek ini benar-benar untuk rakyat atau hanya untuk mempercepat akses investor?

Baca juga:  Teleskop Hubble Menemukan Planet yang Mirip Sekali Jupiter

Porosmedia mengajak publik, DPRD, dan lembaga pengawas independen untuk terus mengawal proyek ini agar tidak menjadi ironi pembangunan—megah di atas kertas, tapi melukai ribuan rakyat kecil.