Prabowo Subianto Dan Menterinya Seolah Kehilangan Kecerdasan Intelektualitasnya

Avatar photo

By. Prof. Gavin Narendra Respati

Porosmedia.com — Kenapa sejak dekat dengan Jokowi, Prabowo Subianto seolah kehilangan intelektualitas? Akhir-akhir ini kita berpikir “Apakah kebodohan itu menular?” Namun, akhirnya saya menyadari, bahwa perubahan “intelektualitasnya” mungkin disebabkan oleh “gesekan” sosial & psikologis.

Dalam arena politik, sering kita saksikan bagaimana tokoh-tokoh publik mengalami perubahan dalam kinerja intelektual mereka, yang terkadang dipersepsikan sebagai penurunan. Fenomena ini dapat dianalisis melalui berbagai teori psikologi dan sosial, dengan mengambil contoh kasus Prabowo Subianto yang diduga mengalami penurunan kapasitas intelektual setelah dekat dgn Jokowi yang tidak jelas pendidikan dan Ijazahnya.

Perubahan Prioritas

Menurut teori ini, perubahan dalam prioritas individu bisa sangat mempengaruhi kapasitas kognitif mereka. Ketika seseorang seperti Prabowo bekerja sama dengan Jokowi, fokusnya mungkin bergeser dari aktivitas intelektual murni kepada strategi politik yang lebih praktis.

Abraham Maslow dengan hierarkinya tentang kebutuhan manusia menjelaskan bahwa ketika kebutuhan dasar dan keamanan terpenuhi, orang akan cari kepuasan melalui kebutuhan yang lebih tinggi seperti kebutuhan untuk berprestasi atau berkuasa. Namun, dalam dunia politik, kebutuhan untuk pertahankan kekuasaan bisa mendominasi, menggeser fokus dari aktivitas pembelajaran atau refleksi intelektual.

Teori ini mengusulkan bahwa ketika seorang pemimpin beradaptasi dengan prioritas baru dari lingkungan politik yang berbeda, mereka mungkin mengorbankan beberapa aspek kemampuan intelektual mereka untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan dan dinamika baru.

Sebelum dekat dengan Jokowi, Prabowo dikenal dengan gaya kepemimpinan yang tegas dan nasionalis, namun setelah bekerja sama dengan Jokowi, terutama dalam kabinet Merah Putih, terlihat ada pergeseran dalam fokus kebijakan dan strategi politiknya. Fokus pada pragmatisme dan konsensus yang lebih besar mungkin telah mengurangi kedalaman analisis dan keputusan yang sebelumnya lebih berorientasi pada idealisme. Namun tentu saja, hal ini merupakan interpretasi subjektif berdasarkan perubahan prioritas dan dinamika politik yang kompleks yang saya amati.

Baca juga:  Sertijab, Pj Walikota Cimahi H Dikdik Suratno Nugrahawan Kepada Pj Baru Dicky Saromi.

Situationalism

Situationalism dalam psikologi sosial menyatakan bahwa, perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh konteks sosial di mana mereka berada. Kurangnya intelektualitas yang dipersepsikan bisa jadi bukan karena penurunan kemampuan, tetapi adaptasi terhadap lingkungan politik yang menuntut lebih banyak pragmatisme daripada ideologi atau pemikiran mendalam.

Lee Ross dan Richard Nisbett dalam “The Person and the Situation”,menekankan bagaimana situasi bisa menentukan perilaku lebih dari karakter intrinsik seseorang.

Prabowo Subianto “mungkin” mengalami penurunan intelektualitas sejak ia dekat dengan Jokowi, karena perubahan konteks dan situasi politik yang mempengaruhi perilaku dan kemampuan kognitifnya. Situationalism menyatakan bahwa karakter dan keputusan individu sangat dipengaruhi oleh lingkungan mereka -dalam kasus ini-, lingkungan politik Jokowi yang lebih pragmatis dan fokus pada konsensus mungkin menuntut Prabowo untuk menyesuaikan diri dengan cara berpikir dan bertindak yang berbeda dari sebelumnya.

Hal Ini bisa berarti bahwa ia kurang menonjolkan sisi intelektual yang sebelumnya digunakan dalam konflik politik atau dalam pembuatan kebijakan yang lebih konfrontatif, mengarah pada persepsi penurunan dalam kedalaman analisis atau keputusan intelektual.

Media Influence

Teori ini menjelaskan bagaimana media dapat membentuk persepsi publik. Agenda-setting theory yang dipaparkan oleh McCombs dan Shaw menyatakan bahwa, media memiliki kekuatan utk menentukan apa yang dianggap penting oleh publik. Jika media menyoroti aspek-aspek tertentu dari kepemimpinan Prabowo yang dianggap kurang intelektual, maka persepsi ini bisa menjadi dominan dalam diskursus publik, meskipun mungkin tidak mencerminkan kemampuan sebenarnya.

Prabowo Subianto, menurut Saya, terlihat seperti mengalami penurunan intelektualitas sejak dekat dengan Joko Widodo, karena perubahan dalam bagaimana media membingkai dan menyajikan gambarannya. Media memainkan peran besar dalam membentuk persepsi publik tentang tokoh politik, dan ketika Prabowo berada di lingkungan Jokowi, media mungkin lebih fokus pada aspek pragmatisme dan kompromi politik daripada kedalaman ideologis atau intelektual yang ia tunjukkan sebelumnya.

Baca juga:  Rizki Faizal : MKD tidak Cermat dalam Tahapan Menangani aduan terhadap Ketua MPR

Fokus media pada narasi konsensus dan kerja sama bisa mengurangi visibilitas dari kecerdasan strategis atau analitis Prabowo, membuatnya tampak lebih sesuai dengan tuntutan politik yang lebih luas namun kurang menonjol dalam aspek-aspek intelektual.

Stress &Tekanan Politik (Yerkes-Dodson Law)

Yerkes-Dodson Law menunjukkan bahwa ada hubungan antara arousal (stimulasi) dan performa. Level stres yang moderat bisa meningkatkan performa, tetapi stres tinggi bisa mengurangi performa kognitif.

Dalam konteks politik, tekanan yang terus-menerus dan stres dari menjaga aliansi, menghadapi oposisi, atau memenuhi harapan publik bisa mengikis kemampuan kognitif seseorang, menyebabkan apa yang tampak seperti yang disebut dengan penurunan intelektual.

Sebelumnya, Prabowo mungkin bekerja dalam kondisi yang menuntut tingkat arousal yang tinggi, terutama dalam konteks oposisi politik yang menantang, yang bisa meningkatkan performa intelektualnya. Namun, hubungannya yang semakin terlihat dekat dengan Jokowi, terdapat sebuah kondisi di mana situasi politik yang lebih stabil dan kooperatif mungkin telah menurunkan tingkat arousal tersebut, membawanya ke luar dari titik optimal performa yang dijelaskan oleh hukum ini.

Dalam konteks ini, kurangnya tekanan atau motivasi untuk menantang STATUS QUO bisa menyebabkan pergeseran ke arah yang lebih relaks, potensial menurunkan intensitas intelektual yang sebelumnya ditunjukkan Prabowo sebagai oposisi dari Jokowi.

Transformational Leadership

James MacGregor Burns dan Bernard Bass dengan teori kepemimpinan transformasional menjelaskan bahwa, pemimpin dapat beradaptasi dan berubah dalam cara mereka memimpin berdasarkan situasi. Prabowo mungkin mengadopsi gaya kepemimpinan yang lebih pragmatis atau kolaboratif untuk menyesuaikan aliansi dengan Jokowi, yang bisa salah diartikan sebagai penurunan intelektual jika dilihat dari perspektif idealisme atau debat intelektual.

Sebelumnya, Prabowo dikenal sebagai pemimpin yang mampu menginspirasi dan memotivasi pengikutnya dengan ide-ide besar dan visi nasionalis yang kuat, ciri-ciri utama dari kepemimpinan transformasional. Namun, dalam lingkungan kerja sama dengan Jokowi, ia mungkin telah berpindah ke gaya kepemimpinan yang lebih transaksional atau pragmatis yang lebih fokus pada konsensus dan pembangunan kebijakan bersama, yang tidak selalu menuntut atau memungkinkan penggunaan intelektualitas tinggi seperti sebelumnya.

Baca juga:  Rincian Paket Stimulus Rp38,6 T Antisipasi Kenaikan PPN 12%

Dalam konteks ini, kurangnya tantangan intelektual yang signifikan atau kebutuhan untuk menginspirasi perubahan mendasar bisa menyebabkan persepsi bahwa kemampuan intelektualnya kurang terlihat atau digunakan secara optimal.

Perubahan yang diamati pada kapasitas intelektual Prabowo setelah bersekutu dengan Jokowi bisa dianalisis melalui kacamata ini sebagai hasil dari perubahan prioritas, adaptasi terhadap lingkungan politik, pengaruh media, stres, dan evolusi gaya kepemimpinan. Namun, tanpa data empiris yang jelas dan studi spesifik, ini tetap spekulatif. Nah setidaknya, perubahan “intelektualitas” yang dialami oleh Prabowo lebih mudah dijelaskan, sehingga membuat saya tidak lagi merasa heran.

Fenomena ini mengingatkan kita bahwa intelektualitas dalam politik sering kali lebih kompleks daripada sekadar kapasitas kognitif yang juga mencakup strategi, persona publik, dan dinamika interaksi manusia.

Daftar Pustaka:
1. Bass, B.M. (1985). Leadership and Performance Beyond Expectations. New York: Free Press.
2. Burns, J.M. (1978). Leadership. New York: Harper & Row.
3. Maslow, A.H. (1943). “A Theory of Human Motivation.” Psychological Review, 50(4), 370-396.
4. McCombs, M.E., & Shaw, D.L. (1972). “The Agenda-Setting Function of Mass Media.” Public Opinion Quarterly, 36(2), 176-187.
5. Nisbett, R.E., & Ross, L. (1991). The Person and the Situation: Perspectives of Social Psychology. New York: McGraw-Hill.
6. Yerkes, R.M., & Dodson, J.D. (1908). “The Relation of Strength of Stimulus to Rapidity of Habit-Formation.” Journal of Comparative Neurology and Psychology, 18(5), 459-482.