Porosmedia.com, Bandung, 22 Juli 2025 – Gelombang kritik terhadap kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, terkait pelarangan kegiatan study tour sekolah melalui Surat Edaran (SE) No. 45/PK.03.03/KESRA kian meluas. Aksi demonstrasi damai yang sempat digelar di Gedung Sate oleh pelaku wisata, guru, dan perwakilan masyarakat pendidikan dari berbagai daerah berujung pada pembubaran cepat. Namun, pesan yang tersisa justru semakin memperlihatkan ketegangan antara suara rakyat dan pendekatan sepihak penguasa.
Herdis Subarja, koordinator aksi, menyebut pembubaran dilakukan secara taktis karena kondisi mulai tidak kondusif. Lemparan benda terekam di lapangan, disusul kekhawatiran terhadap keselamatan peserta dan rusaknya fasilitas kendaraan. Namun, banyak pihak justru mempertanyakan lemahnya koordinasi dengan aparat serta kehadiran intelijen yang disebut melebihi batas kesepakatan awal.
Di ruang percakapan para peserta aksi, kemarahan terhadap Gubernur Dedi Mulyadi mencuat secara terbuka. Ia dinilai mengambil kebijakan sepihak tanpa kajian menyeluruh dan cenderung meremehkan pelaku wisata serta orang tua siswa yang selama ini terlibat dalam praktik musyawarah pendidikan berbasis partisipasi. Gaya komunikasi sang gubernur yang memilih membuat konten naratif di media sosial ketimbang membuka dialog langsung, memperuncing kekecewaan publik.
Tak sedikit yang menilai, pelarangan tersebut bukan hanya inkonsisten terhadap semangat Merdeka Belajar, namun juga bertentangan dengan Permendikbudristek No. 12 Tahun 2024 yang justru mendorong penguatan kegiatan kokurikuler—termasuk kunjungan edukatif ke kampus, situs sejarah, dan kawasan industri.
Di sisi lain, kegiatan study tour yang telah menjadi agenda tahunan berbagai sekolah dianggap memiliki nilai strategis dalam membangun karakter dan memperluas wawasan siswa. Biaya pun kerap dibahas dalam forum orang tua, bukan dibebankan secara serampangan melalui dana BOS. Anehnya, kegiatan ini justru dimatikan melalui larangan tanpa solusi pengganti yang realistis.
Lebih ironis lagi, banyak pihak yang selama ini justru mengambil keuntungan dari ekosistem study tour—termasuk instansi pemerintah, aparat keamanan, bahkan pejabat pendidikan daerah. Kini, ketika aturan sepihak diberlakukan, mereka mendadak diam.
Sebagai respons, sejumlah opsi strategis mulai dibahas oleh komunitas pelaku wisata dan pendidikan: dari rencana audiensi langsung ke kediaman KDM di Subang, hingga ancaman membawa perkara ke ranah hukum seperti PTUN atau bahkan Mahkamah Konstitusi (MK). Desakan kepada wali kota dan bupati pun mulai digalang, mengingat sekolah TK hingga SMP berada di bawah otonomi daerah.
Narasi tandingan juga dirancang melalui kanal media sosial populer seperti TikTok dan Instagram. Para pelaku wisata tak ingin gagasan edukasi yang mereka perjuangkan selama bertahun-tahun disederhanakan menjadi “piknik konsumtif” oleh propaganda sepihak birokrasi.
Krisis ini seolah membuka tabir lemahnya partisipasi publik dalam pengambilan keputusan strategis di Jawa Barat. Ia menyingkap kerapuhan komunikasi pemerintah, serta kecenderungan penggunaan opini tunggal untuk membungkam aspirasi rakyat.
Jika dibiarkan, situasi ini tak hanya merugikan sektor UMKM dan transportasi yang bergantung pada kegiatan wisata edukatif, tapi juga membuka ruang bagi konflik horizontal di tengah masyarakat. Terlebih jika penggunaan buzzer dan framing digital kembali menjadi alat untuk mendeligitimasi suara yang sah dari warga.
Rekomendasi Kritis:
1. Uji legalitas SE Gubernur ke PTUN, mengingat potensinya bertentangan dengan regulasi nasional.
2. Perkuat basis argumentasi hukum menggunakan Permendikbudristek, UU Sisdiknas, dan notulensi musyawarah sekolah.
3. Dorong komunikasi sektoral dengan kepala daerah yang lebih memahami konteks lokal.
4. Lawan narasi dangkal: bedakan secara tegas antara study tour edukatif dan wisata konsumtif.
5. Bangun aliansi nasional lintas sektor: dari PO Bus, operator wisata, hingga forum guru dan orang tua.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat, khususnya Gubernur Dedi Mulyadi, masih punya ruang untuk memperbaiki arah kebijakan ini. Namun jika pendekatan top-down dan narasi tunggal terus dilanggengkan, perlawanan yang lebih luas tampaknya hanya tinggal menunggu momentum. Sebab, ketika rakyat sudah tak didengar, jalan aksi akan selalu menemukan jalannya.
https://www.instagram.com/reel/DMYvs7kSN6w/?igsh=OXpkeDEwaHRvM2Rm







