Polemik Desa Wadas, Bukti Kegagalan Demokrasi Kapitalisme

Polemik Desa Wadas, Bukti Kegagalan Demokrasi Kapitalisme

Porosmedia.com – Desa Wadas di Jawa Tengah menjadi sorotan nasional usai aparat kepolisian diterjunkan ke desa itu pada Selasa (08/02). Pasukan polisi bersenjata lengkap itu dikerahkan untuk mengawal pengukuran lahan tambang batu andesit proyek Bendungan Bener. Namun, anggota Korps Bhayangkara tak hanya mengawal Tim BPN, mereka juga menangkap warga desa Wadas yang dianggap memprovokasi penolakan rencana penambangan tersebut. Terjadi aksi kekerasan dalam penangkapan warga.

Total 67 warga Wadas ditangkap dan ditahan di Polres Purworejo. Setelah mendapat kecaman, polisi membebaskan mereka. Satu warga yang dinyatakan positif Covid-19 masih harus isolasi di rumah sakit. Peristiwa itu menjadi bagian dari rangkaian perjuangan warga Wadas menolak perampasan lahan untuk pembangunan Bendungan Bener yang berlangsung sejak 2013.

Semua bermula dari rencana pembangunan Bendungan Bener pada 2013 lalu. Bendungan tersebut bakal terletak di wilayah Kabupaten Purworejo dan Wonosobo. Proyek ini bakal menggusur sejumlah desa yang berada di dua kabupaten tersebut. Desa Wadas menjadi salah satu desa yang masuk dalam target lokasi itu. Desa Wadas diikutsertakan sebagai lokasi pertambangan batu andesit yang akan digunakan untuk proyek strategis nasional.

Menko Polhukam Mahfud membantah informasi maupun pemberitaan terkait situasi mencekam Desa Wadas soal aparat kepolisian mengawal tim pengukur lahan tambang batuan andesit untuk Bendungan Bener. Mahfud pun menegaskan proses pengukuran lahan tambang batu andesit di Desa Wadas akan tetap dilanjutkan. Menurutnya, penolakan sebagian masyarakat Desa Wadas terhadap rencana penambangan batu andesit tak berpengaruh secara hukum (CNNIndonesia.com, Kamis, 10/02/2022).

Tuntutan dari Masyarakat agar Penguasa Bertanggung Jawab

Sementara itu, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menyebut Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) bertanggung jawab atas pengepungan Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah. Isnur menyampaikan pengepungan berkaitan dengan pembangunan proyek strategis nasional (PSN) Bendungan Bener di Desa Wadas. Dengan begitu, tanggung jawab pengerahan aparat bukan hanya di tangan pemerintah daerah, tapi juga pemerintah pusat.

Isnur menyampaikan hingga saat ini Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo juga belum angkat suara soal pengerahan ribuan polisi. Menurutnya, hal itu mengindikasikan keterlibatan pemerintah pusat. Dia curiga Istana memberi perintah pengerahan ribuan polisi ke Desa Wadas. Pasalnya, Jokowi dan kabinetnya diam saat hak warga Wadas yang dijamin konstitusi dan Pancasila diinjak-injak.

Baca juga:  DOB sebagai Komitmen Relawan Ganjar - Mahfud, Ayoo Kita Perjuangkan Suaranya di Jabar

Isnur mendesak Jokowi mengambil tindakan tegas dalam kasus Desa Wadas. Dia meminta Jokowi menghentikan kekerasan yang dilakukan polisi di desa tersebut. Dia juga meminta Presiden untuk mencopot Kapolda Jawa Tengah dan menghentikan proses-proses penambangan quarry di Wadas.

CNNIndonesia.com telah menghubungi sejumlah pejabat Istana terkait ucapan YLBHI tersebut. Yakni Kepala Staf Presiden Moeldoko, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Deputi V KSP Jaleswari Pramodhawardani, dan Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara Faldo Maldini terkait hal ini. Hanya Moeldoko yang memberi jawaban. Dia meminta peristiwa ini dilihat secara menyeluruh.

“Semuanya perlu dilihat secara jernih agar tidak bias dari kondisi yang sesungguhnya. Pembangunan pastinya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan itu tujuan akhirnya,” kata Moeldoko kepada CNNIndonesia.com, Rabu (09/02/2022).

Keinginan Warga Wadas Sesungguhnya

Jika dilihat secara jernih dan menyeluruh sesuai dengan permintaan Kepala Staf Presiden, penduduk Desa Wadas sebenarnya tidak menolak terhadap pembangunan waduk atau Bendungan Bener tersebut. Namun hal yang mereka tolak sebenarnya adalah pertambangan andesit yang akan dilakukan di desa mereka. Itu pun bukan tanpa alasan. Warga memiliki kekhawatiran yang kuat bahwa jika dilakukan penambangan batuan andesit secara besar-besaran, maka akan terjadi kerusakan lingkungan yang berbahaya. Terutama bahaya longsor akibat dilakukannya peledakan untuk eksplorasi tambang.

Sebagian besar mata pencaharian warga Wadas adalah bertani. Hal ini didukung pula oleh kondisi alam wilayah Wadas yang subur dan senantiasa menghasilkan hasil bumi yang melimpah. Keuntungan warga dari hasil pertanian di Desa Wadas selama ini sangat baik. Berbagai hasil alam seperti durian, sengon, petai, kelapa, kemukus, vanili, lada, manggis, dan pohon aren mampu menghidupi para penduduk dengan sangat layak. Sehingga wajar jika warga memiliki kekhawatiran akan sumber mata pencahariannya ini yang mungkin akan lenyap dengan adanya penambangan batu andesit.

Pandangan Islam Terkait Masalah Ini

Inti permasalahan yang terjadi adalah penolakan warga Wadas terhadap kegiatan penambangan batu andesit. Bahkan penduduk Wadas tidak setuju atas pelaksanaan pengukuran tanahnya. Mereka bersikeras bahwa kegiatan tersebut akan berdampak sangat buruk terhadap lingkungan dan pertanian. Sementara mata pencaharian mereka yang utama adalah pertanian tersebut. Bagaimana Islam memandang pada permasalahan ini?

Baca juga:  Satgas Yonif 323 Buaya Putih Salurkan Bantuan Sembako Untuk Masyarakat Distrik Sinak

Islam memiliki aturan yang spesifik mengenai tambang. Yakni dalam aturan Islam, pertambangan atau barang tambang merupakan harta milik umum sehingga tidak boleh dimiliki oleh individu tertentu. Baginda Rasulullah Shalallahu’ alaihi wasallam pernah memberikan sebuah tambang garam kepada Abyadh bin Hamal. Namun setelah diberitahu salah seorang sahabat beliau, bahwa tambang itu adalah seperti al-ma’u al-’iddu (air yang terus mengalir), Rasulullah SAW lalu menarik kembali tambang itu dari Abyadh.

Sehingga status segala macam wilayah yang fungsi dan maknanya seperti al-ma’u al-’iddu (air yang terus mengalir), contohnya seperti mata air, air sumur, tambang, sumur minyak dan lain sebagainya ini menjadi hak kepemilikan umum, yakni seluruh rakyat berserikat di dalamnya. Hanya Negara Islam yang berhak menentukan batasan jumlah deposit suatu bahan tambang yang tidak boleh dimiliki individu atau swasta, melainkan milik seluruh rakyat.

Solusi Kasus Wadas

Tambang batuan andesit di Desa Wadas diperkirakan ada 114 hektar. Ini jelas bukan merupakan jumlah yang sedikit. Namun permasalahannya, tambang ini terletak di perbukitan yang merupakan lahan milik rakyat dengan hasil bumi yang melimpah. Dalam Islam, jika sebuah tambang menghasilkan jumlah yang besar dan strategis letaknya, maka negara-lah yang harus mengelolanya.

Apalagi jika tambang ini sangat dibutuhkan negara untuk pelaksanaan proyek, maka wajib dikelola oleh negara dengan sebaik-baiknya sehingga tidak akan merusak lingkungan sekitar. Negara juga tidak boleh memaksakan kehendak kepada rakyat, apalagi memaksa dan mengancam serta merampas dari yang berhak.

Sudah seharusnya penguasa berdialog secara baik dengan rakyat. Tidak menggunakan kekerasan apalagi mencelakakan rakyat, kemudian membuat kesepakatan yang baik dengan rakyat. Jika rakyat telah memberikan keridhoannya, penguasa harus memberikan penggantian yang mampu menjamin kehidupan masyarakat setelahnya dan tidak merugikan rakyat sedikit pun.

Di masa kekuasaan Khalifah Umar bin Khattab, pernah ada suatu permasalahan di mana seorang Wali Mesir, Amr bin Ash menggusur rumah warga yang miskin. Amr bin Ash melakukannya untuk mendirikan mesjid untuk kepentingan rakyatnya. Namun di wilayah yang akan dibangun mesjid tersebut, ada lahan milik salah seorang warga yaitu seorang Nenek Yahudi.

Baca juga:  Syarat Booster Bagi Pemudik, No Sense of Justice!

Aparat negara telah berupaya dan bernegosiasi agar nenek tersebut bersedia menjual tanahnya. Namun ia tidak mau menjualnya meskipun sejengkal. Amr bin Ash terus berupaya membujuk si nenek, bahkan hingga menawarkan ganti rugi lima kali lipat dari harga normal tanah tersebut. Namun si Nenek Yahudi bersikukuh tak mau menjualnya. Akhirnya Amr bin Ash sebagai wali mengambil keputusan untuk menggusur tanah dan rumah Nenek Yahudi tersebut.

Si nenek melaporkan perbuatan semena-mena Amr bin Ash tersebut kepada Khalifah Umar. Laporan tersebut membuat Khalifah murka dan mengirimkan tulang belikat unta yang digores oleh garis lurus seperti huruf Alif kepada Amr bin Ash. Di tengah goresan itu dibubuhi goresan melintang menggunakan ujung pedang. Setelah menerima tulang itu, tubuh Amr bin Ash menggigil dan wajahnya pucat. Seketika itu juga Amr bin Ash memerintahkan untuk membongkar kembali masjid yang sedang dibangun dan membangun kembali rumah nenek Yahudi tadi.

Si Nenek kebingungan dengan perbuatan Amr bin Ash. Amr lalu menjelaskan bahwa tulang itu adalah peringatan keras dari Khalifah Umar. Huruf Alif yang tegak lurus menunjukkan perintah untuk berlaku adil kepada siapa saja, baik masyarakat bawah maupun atas. Jika tidak bertindak adil seperti goresan tulang itu, maka batang lehernya akan ditebas.

Nenek Yahudi itu tertegun dan menunduk terharu mendengar penjelasan tersebut. Akhirnya si Nenek mengikhlaskan tanahnya untuk pembangunan mesjid, sementara ia sendiri memeluk islam. Demikianlah Islam selalu memberikan solusi yang terbaik yang senantiasa menuntaskan problematika umat tanpa ada satu pihak pun yang merugi (sebagian dikutip dari artikel muslimahnews.net, 19/02/2022 tulisan Najmah Saiidah). Wallahu’alam bisshawwab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *