Porosmedia.com, Bandung – Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kota Bandung kembali menggelar rapat koordinasi lintas pemangku kepentingan untuk menata kawasan Taman Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat (Monju), Minggu (22/6/2025). Sekretaris Daerah Provinsi Jabar, Herman Suryatman, memimpin langsung rapat tersebut yang disebut-sebut sebagai rapat “terakhir” sebelum eksekusi lapangan.
Namun di balik narasi penataan yang digembar-gemborkan, muncul sejumlah pertanyaan: benarkah ini untuk ketertiban umum, atau justru skenario penggusuran bertahap terhadap ruang ekonomi informal?
“Baru saja selesai rapat lapangan sekaligus survei di Taman Monumen Perjuangan untuk membahas penataan permanen Monju. Rapat pertama dan terakhir karena berikutnya harus eksekusi menuju Monju yang lebih rapi, bersih, dan tertata pedagangnya,” ujar Herman.
Pernyataan itu seolah menandai keputusan final tanpa partisipasi deliberatif. Rapat yang disebut pertama sekaligus terakhir mengindikasikan absennya ruang negosiasi lanjutan. Padahal, kawasan Monju telah lama menjadi denyut nadi ekonomi informal ribuan warga—khususnya pedagang kaki lima (PKL) yang tak kunjung mendapat perlindungan hukum dan tata ruang yang inklusif.
Herman menegaskan bahwa Pemprov Jabar dan Pemkot Bandung sepakat melakukan penataan menyeluruh, mulai dari penertiban parkir liar, pengelolaan sampah, hingga reposisi PKL. Namun, tak dijelaskan secara rinci ke mana para PKL akan dipindahkan, atau bagaimana skema kompensasi dan perlindungan ekonomi mereka.
“Kami sepakati bersama… mulai dari pengelolaan sampah permanen, penertiban parkir liar, pengamanan kawasan, penataan para pedagang kaki lima, sampai dengan penataan taman,” tegasnya.
Ironisnya, Monju yang merupakan ruang publik memorial perjuangan rakyat justru menjadi tempat di mana rakyat kecil selalu rentan digeser atas nama estetika kota. Apakah narasi “tertib, bersih, dan rapi” ini hanya selubung modernisasi yang abai terhadap keadilan sosial?
Penertiban dan pembersihan kawasan memang dibutuhkan, terlebih setelah Monju kerap dikeluhkan sebagai titik rawan kemacetan, sampah menumpuk, dan semrawut. Namun, akar masalah tidak sekadar pada keberadaan PKL atau parkir liar, melainkan minimnya regulasi tata ruang yang partisipatif dan rendahnya kontrol terhadap manajemen pengelolaan.
“Hari kemarin kami tuntaskan pembersihan dan penertiban pengelolaan sampahnya demi kenyamanan masyarakat menikmati area publik,” kata Herman.
Kenyamanan siapa yang dimaksud? Dalam konteks kota yang semakin dikomersialkan, narasi “kenyamanan masyarakat” kerap menjadi justifikasi eksklusi kelas bawah dari ruang publik. Penataan yang tidak berpihak pada kelompok marjinal akan menjelma menjadi urban cleansing yang terselubung.
Catatan Kritis untuk Penataan Monju
Pertama, penataan seharusnya dimulai dengan audit sosial terhadap kebutuhan para pedagang dan warga pengguna kawasan.
Kedua, dibutuhkan regulasi transisi yang adil, bukan pendekatan instruktif top-down yang seolah menggiring pada status quo baru.
Ketiga, Pemda harus membuka ruang dialog yang setara dan tidak menganggap “rapat pertama sebagai yang terakhir”.
Pemerintah punya peluang besar untuk menjadikan Monju sebagai model tata kelola ruang publik yang berkeadilan sosial. Namun jika pendekatannya tetap represif dan eksklusif, maka sejarah perjuangan yang diperingati di Monju akan terdengar hampa: rakyat digusur dari tempat yang dibangun atas nama mereka sendiri.