PMK 32/2025 Tuai Sorotan: Perjalanan Dinas Pejabat Dibayari Mewah, Publik Bertanya “Untuk Siapa Negara Ini?”

Avatar photo

Porosmedia.com, Jakarta, 3 Juni 2025 — Seruan efisiensi anggaran dan lesunya ekonomi masyarakat, pemerintah justru menerbitkan aturan baru yang memicu perdebatan tajam di ruang publik. Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 32 Tahun 2025, negara menetapkan standar biaya baru untuk perjalanan dinas pejabat negara dan aparatur sipil negara (ASN) tahun anggaran 2026—dan nominalnya bukan main.

Aturan yang ditandatangani Menteri Keuangan Sri Mulyani dan diundangkan pada akhir Mei lalu ini memuat rincian biaya perjalanan dinas yang, bagi banyak kalangan, terkesan mewah dan tidak mencerminkan semangat penghematan anggaran.

Untuk perjalanan dalam negeri, pejabat setingkat menteri dan eselon I diberi fasilitas biaya penginapan antara Rp2,1 juta hingga Rp9,3 juta per malam. Mereka juga berhak atas uang harian Rp580 ribu dan uang representasi Rp250 ribu per hari. Sementara itu, perjalanan ke luar negeri jauh lebih spektakuler: uang harian ditetapkan hingga US$792 atau sekitar Rp12 juta per orang per hari.

Itu belum termasuk tiket pesawat pulang-pergi kelas eksekutif yang bisa menyentuh angka US$23.128 atau sekitar Rp367 juta per orang. Bahkan biaya transportasi lokal dari dan ke bandara pun diganti, dengan tarif Rp94 ribu hingga Rp462 ribu per sekali jalan, tergantung lokasi.

Baca juga:  Kabid Penegakan Perda, Ranto Sitanggang: Oknum yang Buang Sampah Sembarangan Akan Ditindak Tegas

Menariknya, dalam pasal-pasal PMK 32/2025 juga dicantumkan imbauan agar perjalanan dinas dilakukan secara selektif dan memprioritaskan rapat daring (online) jika memungkinkan. Namun, bagi banyak pihak, hal ini terdengar kontradiktif bila dibandingkan dengan standar biaya perjalanan yang begitu tinggi.

“Negara seharusnya memberi contoh efisiensi, bukan justru menetapkan fasilitas mewah bagi pejabatnya,” kritik Dedi Surya, pengamat dari Forum Transparansi Fiskal. Ia menilai aturan ini mencederai rasa keadilan publik, terutama ketika rakyat sedang menahan konsumsi karena daya beli terus melemah.

Di media sosial, warganet membanjiri platform dengan kritik pedas. Banyak yang membandingkan nominal biaya perjalanan dinas tersebut dengan kebutuhan hidup rakyat kecil. Tidak sedikit pula yang menyebut ini sebagai bentuk “legalisasi pemborosan” dengan payung hukum negara.

“Bayangkan, satu tiket perjalanan pejabat bisa setara dengan modal kerja UMKM selama setahun. Siapa yang sebenarnya sedang kita layani? Pejabat atau rakyat?” tulis akun @reformfiskal di X (Twitter).

Hingga artikel ini dirilis, belum ada tanggapan resmi dari Kementerian Keuangan terkait gelombang kritik ini. Namun salinan lengkap PMK 32/2025 sudah tersedia dan dapat diakses publik melalui situs resmi JDIH Kemenkeu.

Baca juga:  Arteria Dahlan: Saya Memohon Maaf kepada Masyarakat Jawa Barat

Sebagian pengamat berharap DPR RI segera memanggil otoritas fiskal untuk memberikan penjelasan atas dasar penetapan biaya tersebut. Sebab, di tengah sorotan publik terhadap gaya hidup pejabat negara, regulasi seperti ini hanya akan memperdalam jurang ketidakpercayaan terhadap birokrasi.

— Editor: Redaksi Porosmedia