Piala Presiden 2025 di Bandung: KDM Klaim Dorong Ekonomi dan Jadi Hiburan Pelajar – Retorika Optimistik, Realitas Perlu Diuji

Avatar photo

Porosmedia.com, Kab. Bandung – Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menilai penyelenggaraan Turnamen Piala Presiden 2025 di Stadion Si Jalak Harupat bukan hanya menjadi ajang olahraga bergengsi, tetapi juga sebagai pemicu pertumbuhan ekonomi lokal serta sarana hiburan edukatif bagi pelajar selama masa libur sekolah.

“Ini kegiatan yang memberi hiburan bagi masyarakat, apalagi sekarang anak sekolah sedang libur, dan saya lihat ekonomi tumbuh,” ujar KDM, Minggu (6/7/2025), usai menyaksikan laga pembuka antara Persib Bandung dan Port FC (Thailand) yang berakhir dengan kekalahan Persib 0–2.

Pernyataan optimistis tersebut disampaikan Gubernur yang akrab disapa KDM, didampingi Wakil Gubernur Erwan Setiawan dan Sekretaris Daerah Herman Suryatman. KDM menyebut bahwa aktivitas ekonomi di sekitar stadion meningkat pesat: pedagang kecil kebanjiran pembeli dan sopir angkot memperoleh banyak order dari penonton.

Namun demikian, di tengah klaim positif ini, muncul pertanyaan: sejauh mana pertumbuhan ekonomi yang dimaksud bersifat jangka panjang dan terukur? Apakah benar hanya dari keramaian temporer dapat disimpulkan terjadi pertumbuhan ekonomi masyarakat, atau ini sekadar efek sesaat yang kerap diklaim sebagai pencapaian struktural?

Baca juga:  Ketua NPCI Kota Bandung Yadi Sopyan : Siap jadi tuan rumah Peparda 2026 dan ajak ikuti aturan soal Atlet

Turnamen Piala Presiden 2025 berlangsung pada 6–13 Juli 2025, bertepatan dengan liburan sekolah. KDM menegaskan bahwa ajang ini juga memiliki dimensi pendidikan, yaitu menanamkan nilai sportivitas kepada anak-anak. “Liburan ini dimanfaatkan untuk membangun nilai sportivitas,” ujarnya.

Namun dalam praktiknya, belum tampak inisiatif konkret dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam memanfaatkan ajang ini untuk program edukatif yang sistematis bagi pelajar. Tidak ada laporan pelibatan sekolah, forum diskusi, atau paket literasi olahraga yang terintegrasi dalam penyelenggaraan turnamen. Jika sportivitas hanya dipahami melalui menonton pertandingan, maka nilai pendidikannya berisiko menjadi dangkal.

Laga pembuka yang dihadiri lebih dari 27.000 penonton memang berlangsung tertib. KDM mengapresiasi kerja aparat kepolisian dan kedewasaan bobotoh. Ia menyebut Kapolda hadir langsung untuk memimpin pengamanan. Namun, pengamanan ketat dalam satu event bukan jaminan bahwa budaya suporter telah dikelola secara berkelanjutan. Sejumlah kasus kekerasan antar-suporter di masa lalu belum mendapat penyelesaian berbasis edukasi dan dialog komunitas.

Dalam narasinya, KDM menyebut pertumbuhan ekonomi dari sisi pedagang dan sopir angkot. Ini patut diapresiasi sebagai bentuk pengakuan atas sektor informal. Namun apakah pemprov memiliki data akurat soal nilai transaksi UMKM di sekitar stadion? Apakah ada fasilitasi langsung, atau bahkan insentif kecil, bagi para pelaku ekonomi mikro selama turnamen?

Baca juga:  Bamsoet Tegaskan Ratifikasi Konvensi Kejahatan Siber PBB Harus Jadi Prioritas Legislasi Nasional

Kegiatan ekonomi temporer di sekitar stadion tidak bisa dijadikan tolok ukur tunggal dalam menilai keberhasilan sebuah kebijakan olahraga. Tanpa intervensi sistematis—seperti subsidi tempat usaha, zona UMKM resmi, atau pendampingan usaha kecil—maka keuntungan ini hanya akan dinikmati segelintir pedagang musiman.

Piala Presiden 2025 diikuti enam tim, termasuk dua dari luar negeri (Port FC dan Oxford United), dan empat tim nasional (Persib, Arema, Dewa United, Indonesia All Star). Kehadiran klub-klub asing seharusnya menjadi momentum diplomasi olahraga dan pertukaran budaya. Namun sejauh ini, tidak terlihat ada upaya pemprov untuk mengelola aspek diplomatik tersebut—misalnya melalui forum kebudayaan, temu pelajar, atau festival pertukaran antarklub.

Klaim pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nilai sportivitas tentu baik untuk narasi publik. Tapi jika tidak dibarengi dengan data, kebijakan, dan program konkret yang dapat ditelusuri hasilnya, maka semua akan berakhir sebagai retorika—bertabur semangat, namun miskin struktur.