Budaya  

Petruk vs Bathara Guru: Siapa yang Berbohong?

Avatar photo

Oleh: Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes
Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB Independen

Porosmedia.com – Dalam jagat pewayangan, kisah Petruk Jadi Ratu telah lama menjadi simbol satire kekuasaan yang melenceng. Figur rakyat jelata yang lugu dan jenaka, mendadak menjadi raja, namun justru menampilkan sisi kelam kekuasaan: arogan, penuh kepalsuan, dan terjerat dalam jeratan dinasti. Hari ini, kisah itu kembali menggema dalam pentas politik Indonesia.

Sosok yang sebelumnya terlihat sederhana dan merakyat, kini justru menjadi ikon pembualan. Dari mobil Esemka yang tak kunjung nyata, hingga data fiktif Rp11.000 triliun, kebohongan demi kebohongan terus terkuak. Teranyar, polemik tentang siapa pembimbing skripsi diangkat kembali ke permukaan, membuka bab baru dalam daftar panjang kontroversi.

Ketika Petruk Mengaku Dibimbing Bathara Guru

Delapan tahun lalu, dalam sebuah pidato di kampus Universitas Gadjah Mada (UGM), sang penguasa menyebutkan bahwa Pak Kasmudjo adalah dosen pembimbing skripsinya (DPS). Ucapannya kala itu terdokumentasi dengan jelas:

“Saya bisa menyelesaikan skripsi saya karena pembimbingan Pak Kasmudjo… meskipun saya lupa juga bolak-baliknya berapa kali… dibentak kok galak sekali.”

Baca juga:  Ambyar, Komdigi malah jadi "KOMunikasi juDI GIla" bak Lawakan Darto Helm

Namun, fakta berkata lain. Pak Kasmudjo yang disebut itu bukan DPS, bukan pula DPA (Dosen Pembimbing Akademik), bahkan masih berstatus Asisten Dosen pada tahun 1980-1985. Artinya, secara administratif dan akademik, beliau tidak memiliki wewenang membimbing skripsi.

Klarifikasi dari Pak Kasmudjo pun sudah beredar luas: ia membantah pernah menjadi pembimbing skripsi. Tapi lucunya, pendukung fanatik—yang oleh netizen +62 disebut “TerMul” alias Ternak Mulyono—berusaha memutarbalikkan fakta. Tanpa paham struktur akademik, mereka menarasikan seolah semua klaim penguasa benar belaka.

Antara Telur Busuk dan Ijazah Asli

Kisruh ini bukan sekadar soal siapa membimbing siapa. Ini soal integritas dan kejujuran akademik. Bila skripsi yang diklaim tidak bisa diverifikasi keabsahannya, maka ijazah yang dihasilkan pun patut diragukan. Ibarat telur dan ayam: skripsi abal-abal tak mungkin hasilkan ijazah sah.

Dan bila hasil uji forensik nanti hanya sebatas menyebut “identik” atau “otentik”, tanpa pembuktian ilmiah yang lebih detail seperti carbon dating kertas dan uji tinta dokumen, maka hasil tersebut akan kehilangan legitimasi ilmiah. Kepercayaan publik pun kian luntur.

Baca juga:  Keterlaluan, Raffi Ahmad tercyduk lagi: Flexing Mobil Pribadi dikawal PatWal ?

Burung Emprit Berkedok Garuda?

Lebih memprihatinkan lagi, muncul kelompok pendukung baru bernama “YT Nusantara”, yang tampil dalam format podcast penuh gaya kasar, norak, dan melecehkan simbol negara. Alih-alih membawa intelektualitas, mereka malah menggunakan simbol burung emprit bersayap tujuh dan berekor enam, sebuah parodi buruk terhadap lambang Garuda Pancasila.

Inilah puncak ironi: lompatan kebohongan dijustifikasi oleh propaganda murahan, dilakukan dengan narasi rendah namun berisik.

Kebenaran Tak Perlu Ditutup-tutupi

Di tengah hingar-bingar ini, pernyataan sederhana Ibu Megawati—”Tunjukkan saja kalau memang ada”—menjadi oase kewarasan. Pernyataan yang mengingatkan kita bahwa kebenaran tak perlu disembunyikan apalagi dibela mati-matian dengan narasi palsu.

Lalu siapa yang berbohong? Petruk yang mengaku dibimbing? Ataukah Bathara Guru yang justru jujur mengklarifikasi bahwa ia tak pernah membimbing? Publik cerdas tentu bisa menilai, karena yang palsu akan selalu menimbulkan gaduh.

Dan bila kebenaran terus dikaburkan, wajar jika desakan rakyat semakin lantang: