Porosmedia.com – Saat bom-bom meledak di Langit Gaza dan misil Iran menggetarkan basis militer Israel, percikan konflik di Timur Tengah itu merambat jauh hingga ke Asia, menembus jalur diplomasi, mengguncang pasar energi, memecah solidaritas sosial, dan menyentuh nadi hukum internasional. Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia dan pijakan penting di Asia Tenggara, kini berdiri dalam pusaran dampak yang tak kasatmata namun sangat nyata. Perang Iran–Israel bukan sekadar kisah dua musuh bebuyutan, melainkan katalis baru dalam peta ketegangan global yang melibatkan banyak pemain besar dan memperkaya keruwetan geopolitik Asia.
Indonesia terus menjaga politik luar negeri “bebas dan aktif”, namun di balik itu ada tekanan yang menguat. Di satu sisi, solidaritas terhadap Palestina membuncah di jalan-jalan dan majelis-majelis taklim. Di sisi lain, relasi dagang dan keamanan dengan negara-negara Barat mengharuskan pemerintah menjaga posisi yang seimbang.
China menyatakan bahwa dunia tak akan damai jika Timur Tengah terus bergolak. Amerika Serikat mempertegas komitmennya terhadap Israel. Rusia mengambil posisi strategis dengan bermain di kedua sisi. Sementara itu, ASEAN terpecah: sebagian negara cenderung diam, lainnya seperti Malaysia ikut lantang mengecam. Indonesia? Berusaha tetap netral, tapi netralitas pun kini dipertanyakan—bukan oleh dunia, melainkan oleh rakyatnya sendiri.
Ketika Selat Hormuz—urat nadi pengiriman minyak global—terancam, harga Brent dan WTI melonjak. Indonesia, sebagai negara pengimpor BBM, langsung merasakan getarnya: inflasi, defisit perdagangan, dan tekanan fiskal. Ekonom senior Bambang Brodjonegoro mengingatkan, jika perang ini terus bereskalasi, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa melambat hingga di bawah 4,8%.
Investor pun mulai waspada. Pasar finansial regional menunjukkan volatilitas tajam. Rupiah ikut terombang-ambing, dan Indonesia kembali dihadapkan pada kenyataan pahit: terlalu bergantung pada energi impor. Pemerintah kini didesak untuk segera mempercepat transisi energi nasional dan membuka jalur suplai alternatif, termasuk dari Afrika Barat.
Gerakan boikot terhadap produk-produk pro-Israel mengemuka di berbagai kota besar Indonesia. Dari masjid hingga media sosial, nada pro-Palestina menggema kuat. Namun di balik semangat solidaritas itu, ada potensi friksi sosial yang mengintai: polarisasi, ujaran kebencian, dan generalisasi terhadap etnis atau bangsa tertentu.
Pemerintah menghadapi dilema: bagaimana merespons aspirasi rakyat tanpa merusak tatanan pluralisme dan keterbukaan? Sekali lagi, posisi moderat Indonesia diuji oleh realitas emosional yang mendidih di akar rumput.
Ancaman bukan hanya datang dari misil dan drone, tetapi juga dari ketegangan hukum internasional. Perang Iran–Israel telah menciptakan preseden pelanggaran terhadap hukum humaniter, dan Indonesia ikut dalam barisan negara yang menuntut akuntabilitas dan penyelidikan.
Lebih jauh, jalur pelayaran strategis seperti Selat Malaka kini menjadi titik fokus keamanan. Bayang ancaman terorisme lintas negara kembali relevan. Aparat keamanan di seluruh Asia Tenggara meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan penyusupan kelompok radikal yang mengeksploitasi situasi geopolitik.
Perang ini bukan hanya militeristik, tetapi juga budaya. Budaya politik Indonesia yang cenderung simpatik terhadap perjuangan Muslim Palestina diperkuat oleh sejarah panjang pergerakan solidaritas Islam. Namun konflik ini juga menjadi pengingat bahwa opini publik bisa menjadi alat tekan terhadap kebijakan luar negeri.
Kasus pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 akibat keberadaan timnas Israel adalah contoh nyata bahwa perang jauh pun bisa menggoyang panggung domestik. Kini, diplomasi publik Indonesia perlu bekerja lebih cerdas, tidak hanya menyuarakan damai, tetapi juga merawat kepercayaan warga pada arah kebijakan luar negeri.
Konflik Iran–Israel telah membuka mata Asia akan satu hal: bahwa perang hari ini tak lagi memiliki batas geografis. Ia menjalar melalui harga minyak, opini publik, stabilitas sosial, dan legitimasi hukum. Bagi Indonesia, ini adalah pengingat penting: bahwa kemerdekaan berdaulat tak cukup hanya dengan netralitas. Diperlukan kebijakan yang proaktif, fleksibel, dan berpihak pada kemanusiaan sekaligus ketahanan nasional.
Di tengah dunia yang terbelah antara misil dan mimpi, Indonesia harus mampu memilih jalannya sendiri: jalan damai yang tak hanya simbolik, tapi berdampak dan berani.