Oleh : Rahmien Liomintono
Porosmedia.com – Penahanan ijazah oleh sekolah, dengan dalih belum melunasi kewajiban administrasi, adalah praktik yang tidak hanya keliru secara moral, tetapi juga bertentangan dengan hukum. Meski kerap terjadi secara diam-diam, tindakan ini merupakan bentuk pelanggaran hak asasi anak dalam memperoleh akses pendidikan dan pekerjaan.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) telah dengan tegas melarang sekolah — baik negeri maupun swasta — menahan ijazah siswa karena alasan tunggakan biaya. Bahkan, di sejumlah daerah, larangan ini dipertegas melalui regulasi di tingkat Peraturan Daerah (Perda). Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak sekolah, terutama yang dikelola oleh yayasan, menjadikan ijazah sebagai “jaminan” pembayaran — sebuah praktik yang bertentangan dengan semangat pendidikan inklusif dan berkeadilan.
Padahal, ijazah bukan milik sekolah. Ia adalah dokumen negara yang menjadi hak mutlak siswa sebagai bukti kelulusan dan prasyarat melanjutkan pendidikan maupun mencari pekerjaan. Menahan ijazah sama saja dengan mengunci masa depan anak-anak bangsa hanya karena alasan ekonomi. Ini bukan sekadar persoalan administratif, melainkan problem struktural yang mengancam prinsip keadilan sosial.
Namun di sisi lain, kita juga tidak bisa menutup mata terhadap kebutuhan operasional sekolah, termasuk dalam hal pembiayaan pencetakan dan distribusi ijazah. Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sejatinya telah disediakan negara untuk menjawab tantangan ini. Sekolah wajib mengelola dana BOS secara transparan dan akuntabel, dengan memprioritaskan hak-hak peserta didik sebagai fondasi utamanya.
Jika dana BOS tidak mencukupi, maka solusinya bukan dengan menekan siswa, melainkan dengan mencari jalur alternatif pembiayaan. Pemerintah daerah, perusahaan swasta, hingga lembaga filantropi memiliki ruang kontribusi melalui skema kemitraan atau program Corporate Social Responsibility (CSR). Sayangnya, inisiatif kolaboratif seperti ini masih minim dan tidak terlembagakan secara sistemik.
Sudah saatnya kita bersikap tegas. Pemerintah harus aktif melakukan pengawasan terhadap praktik penahanan ijazah dan memberikan sanksi administratif bagi sekolah yang melanggar. Di saat yang sama, masyarakat pun harus diberdayakan agar lebih berani melapor dan menuntut keadilan.
Kita tak bisa berbicara soal “revolusi pendidikan” jika hak dasar anak untuk memegang ijazah saja masih dinegosiasikan dengan angka rupiah. Pendidikan adalah hak, bukan komoditas. Dan ijazah adalah bagian dari martabat itu. Maka, siapa pun yang menahannya — atas alasan apapun — sesungguhnya sedang memperdagangkan masa depan bangsa.