Opini Bodrex: Ketika Profesi Dijual Murah, Karakter Jadi Tolak Ukur

Avatar photo

Porosmedia.com – “Bodrex”—di ruang publik, kata ini dulunya hanya dikenal sebagai merek obat sakit kepala. Tapi kini, istilah itu punya tafsir baru yang lebih getir: simbol dari penyakit sosial dalam berbagai profesi, terutama jurnalisme dan politik.

Beberapa hari lalu, Dewan Pers menyoroti fenomena wartawan bodrek, istilah yang merujuk pada mereka yang mengaku-ngaku wartawan tanpa kompetensi jelas, sering memeras pemerintah daerah, dan merusak citra profesi. Dewan Pers menyebut, ini salah satu gejala dari ledakan pengangguran dan krisis integritas. Tapi apakah hanya jurnalis yang mengalami “gejala bodrex”? Tentu tidak.

Justru penyakit serupa juga menjangkiti profesi lain—pejabat bodrex, politisi bodrex, aktivis bodrex—semua lahir dari rahim yang sama: ketidakjujuran, keserakahan, dan kemunafikan karakter.

Fenomena wartawan bodrex bukan hal baru. Mereka muncul dari lorong-lorong media abal-abal, membawa kartu pers dari media online tak jelas, dan menjadikan berita sebagai alat barter kekuasaan dan keuntungan pribadi. Mereka datang bukan untuk mengabarkan kebenaran, tetapi menawarkan “paket pemberitaan damai” dengan tarif tertentu.

Baca juga:  Wamenag Sampaikan Belasungkawa Musibah di Gontor Kampus 5 dan Imbau Evaluasi Sarpras untuk Keselamatan

Alih-alih menjadi penyambung lidah publik, mereka berubah jadi tukang tagih amplop. Profesi yang seharusnya mulia—penjaga akal sehat demokrasi—dijatuhkan menjadi sekadar tukang stempel narasi. Tak heran, kepercayaan publik terhadap media pun ikut terkikis.

Namun mari jujur: wartawan bodrex hanya salah satu simtom dari penyakit yang lebih dalam. Dalam politik lokal maupun nasional, tak sedikit pejabat bodrex dan politisi bodrex yang hidup dengan logika sama: menjual jabatan, memperalat kekuasaan, dan mempermainkan kebijakan demi kantong pribadi atau kelompok.

Mereka mungkin memakai setelan rapi, duduk di ruang AC, dan bicara soal pelayanan publik. Tapi di balik meja, tangan mereka justru lihai menandatangani proyek fiktif, membagi-bagi jatah, dan menjadikan APBD sebagai ATM kelompok. Mereka tidak malu menjual idealisme, karena mereka memang tak pernah memilikinya.

Banu, seorang jurnalis kritis lokal, menulis dengan tajam: “Bodrex itu berlaku pada siapa pun dengan karakter yang sama… jadi menyebut jabatan dan posisi mana pun sah, karena ini soal karakter.”

Dan di situlah akar masalah kita: bukan pada status atau profesi, tapi pada karakter. Karena jurnalis sejati tetap bisa menjaga etika meski tak digaji besar. Pejabat yang berintegritas tetap bisa menolak suap meski ditekan. Aktivis yang lurus tak akan menjual suara, meski ditawarkan kekuasaan.

Baca juga:  FPN Gerakkan Majelis Taklim Gelar Aksi Damai Bela Palestina di Kendari

Krisis kita bukan krisis profesi. Ini krisis mental kolektif dalam masyarakat yang makin permisif pada kebusukan.

Saat semua pihak bermain dalam kebisingan amplop, dalam kemewahan “bodrexisasi” karakter, maka yang hilang adalah suara publik. Tak ada lagi yang membela rakyat kecil dengan tulus. Tak ada lagi yang meliput keadilan dengan hasrat membela yang lemah.

Demokrasi pun berubah menjadi panggung sandiwara penuh skenario licik. Media menjadi alat transaksi. Parlemen menjadi pasar kebijakan. Pemerintah menjadi biro jasa. Dan rakyat? Cuma penonton bisu yang terus disuruh bayar tiket pajak.

Namun, belum semuanya gelap. Masih ada jurnalis yang bertahan dengan integritas. Masih ada politisi yang berjuang di tengah badai godaan. Masih ada pemuda yang menolak pragmatisme.

Dan merekalah harapan kita. Mereka bukan “bodrex”. Mereka adalah “anti-bodrex”, yang melawan rasa sakit kepala dengan keberanian, bukan kompromi. Mereka tidak diam ketika kebenaran diinjak. Dan merekalah yang harus terus kita suarakan.

Opini ini bukan ditujukan hanya ke luar. Tapi juga ke dalam. Karena bisa jadi, di antara kita pun sudah lama mengunyah “bodrex karakter” tanpa sadar. Maka sebelum menunjuk siapa “bodrex” berikutnya, mari lihat cermin. Mungkin di sana sudah tampak bayangannya.

Baca juga:  IWO- Indonesia gelar Cucurak menyambut Bulan Suci Ramadhan 1446 Hijriah

“Profesi bisa dibentuk dengan pelatihan. Tapi karakter hanya dibentuk lewat pilihan.”