Porosmedia.com, Jakarta – Krisis integritas informasi yang melanda lanskap digital global, Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) menggelar Musyawarah Nasional (Munas) ke-2 di Hotel The Acacia, Jakarta, dengan mengusung tema yang penuh makna: “Bikin Terang Indonesia”. Munas ini tak sekadar menjadi ajang organisatoris rutin, tetapi juga momentum reflektif dan strategis bagi media siber nasional dalam menghadapi tantangan zaman yang ditandai disrupsi teknologi, perang informasi, dan kerapuhan kepercayaan publik terhadap media.
Acara dibuka oleh Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) RI, Dr. Tubagus Ace Hasan Syadzily, yang langsung menekankan bahwa ekosistem informasi kini menjadi arena utama dalam kontestasi geopolitik. “Ketahanan siber adalah bagian dari ketahanan nasional. Kita tak lagi berperang dengan senjata, tapi dengan narasi, opini, dan algoritma,” ujarnya tegas.
Turut hadir Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, Nezar Patria, Juru Bicara Gus Dur, Adhie Massardi, dan Wakil Ketua Dewan Pers, Dr. Totok Suryanto, yang masing-masing menyoroti urgensi keberadaan media profesional di tengah derasnya arus misinformasi, terutama yang diproduksi oleh kecerdasan buatan (AI).
Dalam salah satu sesi kunci, Nezar Patria mengangkat pertanyaan yang kini menghantui banyak profesional media: masih perlukah perusahaan media ketika semua orang bisa menyebar informasi hanya dengan ponsel?
Jawabannya lugas dan menggelisahkan: “Yang hilang hari ini adalah integritas informasi. Masyarakat dibanjiri hoaks dan narasi manipulatif. Di titik inilah, media profesional menjadi benteng terakhir dari akurasi dan akal sehat publik,” ucap Nezar.
Ia menjelaskan bagaimana teknologi AI dapat menciptakan konten visual dan audio yang menyesatkan, hingga menyerupai tokoh-tokoh publik dengan akurasi yang mengkhawatirkan. “Bayangkan Presiden RI memberi pernyataan palsu yang dibuat AI—dampaknya bisa lebih dahsyat dari ledakan bom,” tegasnya.
Karena itu, menurutnya, perusahaan media yang taat kode etik, berbasis verifikasi, dan memiliki akuntabilitas publik adalah entitas yang tak tergantikan. Namun Nezar juga realistis—ia menyoroti model bisnis media yang rapuh, menyebut bahwa “publisher rights” hanya mampu menutupi sekitar 17% dari kebutuhan operasional media. Artinya, industri media butuh inovasi model bisnis baru untuk bertahan hidup dan tetap independen.
Pandangan Nezar tersebut dikuatkan oleh Dr. Tubagus Ace Hasan Syadzily. Dalam pidatonya, ia menekankan bahwa peran media siber tidak hanya sebatas pengelola berita, tetapi aktor strategis dalam menjaga ketahanan nasional.
“Di tengah era multipolar dan kompetisi kekuatan besar dunia, Indonesia harus mampu menjaga opini publiknya agar tidak direbut oleh kekuatan asing yang bekerja lewat media sosial dan algoritma global,” katanya.
Ace menjelaskan bagaimana media siber kini menjadi bagian dari arsitektur soft power nasional. Jika selama ini kekuatan lunak diasosiasikan dengan budaya dan diplomasi, kini narasi dan opini menjadi instrumen utama. “Media siber harus menjadi firewall utama bangsa ini dalam menyaring informasi beracun,” tegasnya.
Ia lalu mengajukan dua pertanyaan strategis:
1. Apakah Indonesia sudah memanfaatkan keunggulan geopolitiknya secara maksimal dalam medan informasi global?
2. Apakah media kita sudah cukup mandiri, tidak hanya secara ekonomi, tetapi juga ideologi dan orientasi jurnalisme?
“JMSI dan para anggotanya harus menjawab dua pertanyaan itu, karena keberlanjutan republik ini sangat bergantung pada kemampuan kita menjaga kedaulatan informasi,” tambahnya.
Dalam agenda utama Munas, Ketua Umum JMSI Teguh Santosa menyampaikan laporan pertanggungjawaban dan membuka ruang evaluasi arah organisasi. Agenda pemilihan ketua umum baru dan peninjauan AD/ART organisasi juga menjadi bagian dari konsolidasi kelembagaan JMSI ke depan.
Dalam sambutannya, Wakil Ketua Dewan Pers, Dr. Totok Suryanto menyatakan, “JMSI bukan sekadar jaringan media, tapi pemikir masa depan ekosistem media Indonesia.”
Ditegaskannya, media yang profesional, sehat secara kelembagaan, dan mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi adalah pilar penting bagi demokrasi dan pembangunan.
Tema “Bikin Terang Indonesia” bukanlah sekadar jargon. Dalam situasi di mana gelombang disinformasi, perang opini, dan manipulasi digital begitu massif, peran media siber menjadi vital untuk menjaga kewarasan publik. JMSI, melalui Munas ke-2 ini, tidak hanya sedang memilih pemimpin baru, tetapi juga merumuskan kembali raison d’être dari keberadaan media profesional di Indonesia.
Dalam satu simpulan: media adalah penjaga akal sehat bangsa. Dan ketika akal sehat mulai digerogoti oleh algoritma, maka hanya media yang jujur, profesional, dan berani yang bisa menyalakan terang itu kembali.