Porosmedia.com, Bandung – Di tengah kian meruncingnya ancaman darurat sampah di Kota Bandung, hadir sebuah inisiatif lokal yang patut diapresiasi dan dijadikan model replikasi: Komunitas Pengelolaan Sampah Mandiri (KPSM) bersama elemen sekolah, tengah menggerakkan perubahan budaya lingkungan hidup di SMAN 10 Bandung. Sebuah upaya dari bawah—berbasis kesadaran, kebersamaan, dan keberlanjutan.
Krisis sampah bukan isapan jempol. Kota ini sedang berada dalam ancaman nyata yang oleh sebagian kalangan disebut sebagai “kiamat sampah”. Hal ini terjadi akibat volume sampah yang tidak sebanding dengan kemampuan pengelolaan, serta kebiasaan membuang tanpa memilah. Di titik inilah gerakan komunitas semacam KPSM menemukan relevansinya. Mereka hadir bukan sekadar sebagai penggerak teknis, melainkan juga sebagai penyuluh budaya—membentuk kembali cara berpikir warga sekolah, khususnya siswa, dalam memperlakukan sampah.
Program KPSM tidak mewajibkan siswa menjadi pengolah sampah, tetapi menanamkan kesadaran untuk memilah. Hal kecil, tapi berdampak besar. Siswa diajak mengenali jenis-jenis sampah, memahami karakteristiknya, lalu menyimpannya secara terpisah sesuai panduan. Dari sinilah awal mula revolusi mental terhadap sampah bermula.
Upaya ini sejalan dengan semangat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah yang menekankan pentingnya pengurangan dan penanganan sampah sejak dari sumber. SMAN 10 Bandung kini menjadi bagian dari ekosistem tersebut: tidak hanya menjadi institusi pendidikan, tapi juga pionir perubahan lingkungan di level kewilayahan.
Lebih dari itu, siswa didorong mengurangi konsumsi yang menghasilkan residu. Membawa tumbler sendiri, makan dengan bekal, hingga menekan uang jajan bukan karena pelit, tapi karena peduli. Kesadaran ekologis itu ditanamkan secara halus, bukan melalui paksaan, tapi dengan keteladanan dan pelibatan langsung.
Yang menarik, bagi siswa yang bersedia melangkah lebih jauh, terbuka peluang belajar praktik pengolahan organik: membuat eco enzyme, mol, biodis, ember tanam, loseda (lubang sedekah sampah), wasima (wadah siswa mandiri), hingga pembentukan bank sampah daur ulang yang sudah mulai dikembangkan di sekolah. Semua itu dilakukan dengan teknik adaptif, praktis, dan murah.
Perlu dicatat, SMAN 10 Bandung bukan sekolah pertama yang memiliki program pengelolaan sampah. Tapi langkah yang kini dirintis bersama KPSM menawarkan pendekatan yang lebih terintegrasi—mulai dari hulu (produksi dan pemilahan) hingga hilir (pengolahan dan pemanfaatan), dari ruang kelas hingga halaman sekolah. Dari sini, konsep kawasan bebas sampah bukan lagi slogan, melainkan realitas yang sedang dibangun secara kolektif.
Kami menilai inisiatif ini sebagai bentuk keberanian untuk tidak menyerah pada sistem yang abai terhadap lingkungan. Upaya ini menunjukkan bahwa perubahan bisa dimulai dari satu titik kecil, dari satu sekolah, dari satu komunitas, dari satu kemauan tulus untuk memperbaiki keadaan.
Bandung bisa bebas sampah, jika lebih banyak yang seperti SMAN 10 Bandung dan KPSM. Dari sekolah untuk kota. Dari kesadaran untuk masa depan.